Memperingati HUT RI ke 72, pemerintah memilih jargon “Kerja Bersama” sebagai tema utama dalam perayaan hari bersejarah ini. Tema ini dipilih sebagai representasi gotong royong segenap bangsa Indonesia untuk masa depan yang lebih baik. Tema tersebut juga dijabarkan dalam slogan yang digunakan, yakni “kerja bersama, bersama kerja”. Dikutip dari Kompas (09/08/17), Frase “Kerja Bersama” bermakna pola pendekatan yang bersifat merangkul dan memperlihatkan asas kebersamaan untuk Indonesia yang lebih baik. Sementara “Bersama Kerja” bermakna ajakan untuk bersama-sama melakukan karya nyata untuk Indonesia.
Ajakan untuk bekerja bersama-sama demi kemajuan Indonesia ini penting untuk direnungkan –dan kemudian dilakukan—, terutama dalam konteks membangun Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan tidak kagetan. Salah satu tantangan yang kini dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah merebaknya radikalisme. Hasil survey nasional yang dilakukan oleh Wahid Foundation bekerjasama dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI) baru-baru ini menunjukkan data yang sangat mengkhawatirkan.
Dalam survey nasional bertajuk “Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang melibatkan 1.520 responden di 34 provinsi ini, diketahui bahwa 59,9% responden mengaku memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok-kelompok yang dibenci ini rata-rata berisi orang-orang yang berlatarbelakang agama non-muslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan selainnya.
92,2% dari 59,9% responden yang merupakan muslim berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah ini mengaku tidak akan sudi bila anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Bahkan, 82,4% dari jumlah di atas mengaku tidak rela jika anggota kelompok yang dibencinya menjadi tetangga mereka.
Meski begitu, 72% responden mengaku menolak untuk melakukan aksi radikal seperti menyerang rumah ibadah agama lain atau ikut melakukan sweeping tempat-tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Hanya 7,7% responden yang mengaku bersedia melakukan aksi radikal jika ada kesempatan. Survey ini hanya menemukan 0,4% responden yang mengaku pernah terlibat dalam aksi radikal seperti dimaksud di atas.
Angka 7,7% memang sekilas tampak kecil; namun perlu diketahui, angka tersebut adalah proyeksi untuk 150 juta umat muslim Indonesia. Artinya, jika dikalkulasikan maka 7,7% tersebut sama dengan 11 juta umat muslim. Mereka adalah umat muslim yang bersedia melakukan tindakan radikal sewaktu-waktu, selama ada kesempatan.
Data ini seharusnya menjadi alarm untuk bangsa Indonesia, bangsa yang harus terus bekerja. Kecenderungan untuk bersetuju dan bahkan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan agama harus segera dihentikan. Termasuk keyakinan bahwa kekerasan dapat menyenangkan tuhan, karena agama hadir untuk memberikan keadilan sebagai pengganti kesewenang-wenangan, kebijkaan untuk mengganti keserakahan.
Menuju Kebangsaan Pasca Pancasila
Bekembangnya paham dan gerakan kekerasan radikal di negeri ini salah satunya disebabkan oleh semangat untuk mengganti tatanan negeri. Kelompok-kelompok alergi kedamaian meyakini bahwa negeri ini tak kunjung besar dan bersinar lantaran masih terkungkung dalam sistem negara yang kuffar. Para pemimpin dan seluruh pendukung sistim demokrasi Pancasila dianggap sebagai thagut atau pembantu iblis, karenanya ‘jihad’ untuk mengganti dasar negara diyakini harus dilakukan segera, tidak boleh ditunda.
Perjuangan para pendiri bangsa untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara didasarkan pada cita-cita persatuan dan kesatuan. Ini tidak berarti bahwa Pancasila dimaksudkan untuk memberangus segala perbedaan dan meleburnya dalam satu warna, tetapi memastikan bahwa segala perbedaan yang ada tidak menghalangi segenap tumpah darah bangsa ini untuk bersatu sebagai Indonesia, yang besar dan beragam.
Dasar untuk persatuan juga tidak bisa lagi ditumpahkan sepenuhnya pada kesamaan sejarah; sama-sama pernah dijajah, karena ‘sindrom penjajahan’ (dalam Bahasa Sudiarja) hanya akan membuat bangsa ini mengalami kemunduran besar. Ketakutan terhadap penjajahan yang sudah tidak ada justru akan membuat bangsa ini lupa pada tuntutan baru untuk berpikir mengenai kontribusinya agi dunia. Karenanya, sudah seharusnya bangsa ini bergerak menuju pola kebangsaan yang baru, yakni kebangsaan yang tidak lagi dilandasi oleh kesamaan sejarah, tetapi kesamaan dalam pandangan dan ide-ide untuk kemajuan.[1]
Mangunwijaya secara lebih gamblang menyebutnya sebagai “Kebangsaan Pasca Pancasila,” yakni kebangsaan yang patriotismenya adalah cinta tanah air yang ditujukan pada cita-cita pembentukan “bangsa” yang digagas bersama. Suatu bangsa (union) yang tidak didasarkan pada darah keturunan, tetapi ide kedepan.[2]
Dalam konteks menanggulangi intoleransi dan radikalisme yang semakin mengkhawatirkan ini, perlu disadari bersama bahwa tantangan utamanya bukanlah terorisme, tetapi kebodohan dan kepongahan yang terus menggejala dan seolah mendapat ruang untuk berkembang. Intoleransi dan radikalisme bertentangan dengan seluruh nilai keindonesiaan bukan saja karena ia mensahkan kekerasan, tetapi juga karena keduanya melemahkan kewarasan.
Konsep negara Indonesai –dengan demokrasi dan Pancasila di dalamnya—tidak bertentangan dengan Islam, malahan ia merupakan media untuk aplikasi nilai-nilai keislaman. Hal ini yang mendasari sikap tegas Nahdhatul Ulama (NU) pada mukmatar 1930 di Banjarmasin untuk memilih Indonesia sebagai negara bangsa (dar as salam), bukan negara Islam (dar al islam).
Bangsa ini pun masih memiliki harapan baik untuk meredam intoleransi dan radikalisme. Survey Wahid Foundation juga menemukan 67,3% responden yang mendukung permberlakukan sistim demokrasi di Indonesia dan 82,3% menyatakan mendukung Pancasila dan UUD 1945.
Mari berkerjasama untuk Indonesia yang aman tanpa kebencian dan kekerasan. Dari Indonesia, untuk dunia.
Oleh: Khoirul Anam
Rujukan:
[1] Khoirul Anam, “Pancasila dan Terorisme: Sejarah Kelam dan Tantangan Penanggulangannya”, dalam. Pancasila Sebagai Realitas, (Al Khanif, ed), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016. hlm, 257.
[2] A. Sudiarja, “Kebangsaan Pasca Pancasila”, Basis, 9-10, Thaun ke-64 (2005), hlm 2.
Bagikan Artikel: