Kembali

Terminologi Kafir

Ditulis : Admin

Kamis, 18 Agustus 2016

Belakangan ini kita dihebohkan oleh ungkapan yang terlalu vulgar, diekspos secara serampangan dan ditujukan kepada sembarang orang. Kafir, begitulah ungkapan itu. Seolah-olah kata tersebut memiliki makna tunggal, yaitu keluar dari Islam.
 
 
Saya rasa istilah ini sangat sederhana dan terlalu prematur jika disematkan kepada umat yang berlainan kepercayaan dengan kita. Karenanya, berangkat dari alasan itulah tulisan ini dibuat, agar kita tidak terjebak ke dalam istilah yang kita sendiri tidak memahaminya secara integral dan komprehensif. Nah, jika sudah terjerumus ke dalam wilayah di mana kita tidak memahami dengan baik sebuah objek, maka pada dasarnya kita telah menjadi musuh dari apa yang tidak kita ketahui itu, al-Naas a’daa’u ma Jahilu.
 
 
Apabila seseorang tidak atau belum mampu memahami suatu istilah yang sudah jelas terminologinya, agama menganjurkan kepadanya untuk diam dan tidak tampil ke tempat umum seolah-olah ia pakar pada bidang tersebut, atau kalau tidak ia harus bertanya kepada para ahli di bidang itu untuk selanjutnya dianalisa lewat diskusi-diskusi serius. Sehingga melahirkan sebuah pemahaman yang utuh,  siap diuji dan diverifikasi dengan berbagai pendekatan dan metodologi yang ada. Dalam hal ini al-Qur’an secara implisit menegaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra, 17:36). 
 
 
Walaupun para ahli tafsir, baik dari kalangan dirayah dan riwayah masih berselisih pendapat soal makna ‘Ilmun sebagaimana yang dimaksud pada ayat di atas, apakah ia mempunyai arti dalam konteks pengetahuan agama saja atau bukan, yang jelas sejauh pegamatan saya, ayat ini bersifat global dengan latar belakang pemahaman yang menyertainya. Prinsipnya adalah bahwa apapun yang kita lakukan dalam hal ini amal perbuatan seyogyanya harus berpijak pada teori ilmu pengetahuan.
 
 
Kafir dalam Tinjauan Linguistis dan Historis
 
 
Sebagaian besar pakar linguistik mengatakan, term kafir mempunyai arti yang sangat luas, dengan cakupan yang bermacam-macam pula. Louis Makluf penyusun kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam padahalaman 691 memberikan pengertian “menutupi dan menghalangi”. Meskipun pengertiannya tidak hanya ini saja tergantung bagaimana wazan yang mengiringinya. 
 
 
Sedangkan al-Jirjani dalam al-Ta’rifat halaman 194 memberikan pengertian kata kafir dengan kufranundengan istilah sebagai orang yang menutupi nikmat Allah. Sederhananya, jika merujuk pada pengertian yang telah dipaparkan oleh Luois Makluf dan dan al-Jirjani, maka pengertian kafir ini tidak hanya dalam konteks keyakinan semata. Jika kata tersebut dipadankan dengan nikmat misalnya, maka pengertiannya adalah lawan dari orang-orang yang bersyukur yakni orang-orang yang kufur. 
 
 
Dalam hal ini Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an:“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim, 14:07). 
 
 
Maka dengan demikian, timbul pertanyaan yang mungkin mampu menggugah naluri kita sebagai umat Islam, sudahkah kita bersyukur secara optimal atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita? Atau malah kita menjadi kafir karena kurangnya rasa syukur? Di sinilah kemudian struktur pada premis kafir itu dipertautkan, apakah kita menjadi muslim yang kafir atau kafir yang muslim? 
 
 
Jika kita merasa sulit untuk menjawab pertanyaan di atas, mengapa kita menggampangakan diri untuk mengklaim orang lain dengan sebutan kafir? Atau mungkin karena ada faktor lain yang melatarbelakanginya, semisal persoalan politik. Dan jika itu yang menjadi starting point-nya, maka akan ada penafsiran-penafsiran baru yang mengejutkan yang tidak ada di dalam tafsir manapun. 
 
 
Menurut Prof. Komaruddin Hidayat (1996:22), bahwa dalam perjalanan sejarah umat manusia, mereka selalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan intelektual karena didorong oleh ketidaktahuan dan keingintahuannya. Berangkat dari ungkapan itulah maka saya menekankan perlu adanya rekonstruksi pemahaman terhadap suatu istilah, termasuk pengertian kafir itu sendiri. 
 
 
Saya pribadi mempunyai klasifikasi tersendiri dalam memahami istilah kafir yang tentu berbeda dengan apa yang dipahami oleh orang lain. Setidaknya ada tiga istilah mengenai hal itu, yakni Kafir Teologis, Kafir Politis, dan Kafir Ekonomis. 
 
 
Menurut al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-A’raf ayat 172 bahwa semua umat manusia sebelum dilahirkan ke muka bumi, tepatnya ketika berada di alam ruh, mereka mengadakan perjanjian kepada Allah seraya berfiman: Alastu Birabbikum? “bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab:Bala Syahidna “iya kami bersaksi (bahwa Engkau Tuhan kami)”. Namun pada perjalanannya, terutama saat manusia sudah berada di muka bumi, mereka banyak yang ingkar atas perjanjian tersebut dan menutup hati dalam mengakuiAllah sebagai Tuhan mereka. Inilah yang kemudian dalam perspektif sebagaimana saya jelaskan di atas sebagai kafir teologis. 
 
 
Perlu dikatahui bahwa pada wilayah ini, manusia tidak punya hak, apalagi mampu mengklaim manusia lain sebagai kafir.Karena batas wilayah perjanjiannya bukan manusia kepada manusia, akan tetapi manusia kepada Allah selaku Tuhan. 
 
 
Namun kenyataannya pada saat ini, banyak  di antara manusia yang seakan-akan mewakili Allah dalam menghakimi orang lain sebagai kafir. Mereka tanpa sadar telah menelanjangi diri sebagai orang-orang yang tidak mengetahui sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali: “Innahu aa yadri annahu la yadri”.
 
 
Kemudian pada perkembangan selanjutnya muncul istilah kafir politis, istilah ini lahir pertama kali tepat pada perhelatan kongres para sahabat di balai rung Bani Saidah pada hari di mana Rasulullah SAW wafat. Saat itu ada dua kelompok umat Islam yang saling berkompetisi kuat untuk merebut posisi pimpinan tertinggi umat Islam, yakni kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Kedua kelompok ini sama-sama mempunyaipolitical will atau kehendak politik yang berbeda, di mana kaum Muhajirin menginginkan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemegang tampuk kekuasaan, sedangkan kaum Anshar menginginkan Saad bin Ubadah sebagai kandidat terkuat dalam memimpin umat Islam pasca Rasulullah wafat.
 
 
Inilah awal dari perselisihan umat Islam di bidang politik, karena memang pada saat Rasulullah wafat, beliau tidak memberikan isyarat mengenai siapa yang akan menggantikannya dan model sistem pemerintahan seperti apa yang akan dipergunakan oleh penerusnya. Merujuk pada teori konflik yang dicetuskan oleh Karl Marx, jika ada perselisihan dalam suatu komunitas tertentu, maka sudah bisa dipastikan bahwahal tersebut merupakan dampak dari kepentingan yang tidak sejalan. Dan rupanya benar, pemilihan khalifah di balai rung Bani Saidah berlangsung panas dan hampir menimbulkan peperangan, terutama perseteruan antara Umar bin Khattab mewakili Kaum Muhajirin dan Hubab bin Munzir mewakili Kaum Anshar. 
 
 
Walaupun dalam kontestasi ini, Abu Bakar al-Shiddiq keluar menjadi pemenang dan dibai’at umat Islam yang menghadiri kongres di balai rung Bani Sa’idah, namun hal itu rupanya tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan, sebagian kaum muslimin pada saat itu beranggapan bahwa proses pemilihan Abu Bakar bukan pada mufakat seluruh umat Islam, namun hanya berdasar pada suara terbanyak yang hadir pada kongres di balai rung Bani Sa’idah. 
 
 
Berangkat dari persoalan inilah kemudian sebagian umat Islam banyak yang ingkar dan akhirnya memilih murtad dan kafir. Sebagian lagi memilih untuk tidak mau membayar zakat sehingga kemudian diperangi oleh Abu Bakar al-Shiddiq karena dianggap telah kafir. Di sinilah kafir politis dan kafir ekonomis itu dipertautkan. 
 
 
Kafir Politis adalah istilah bagi mereka yang tidak sehaluan dengan political will Abu Bakar, sedangkan kafir ekonomis adalah istilah bagi mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat atau pajak di masa Abu Bakar. Persoalannya sekarang adalah mampukah kita mensosialisasikan klasifikasi kafir itu kepada akar rumput masyarakat kita, sehingga mampu dipahami dengan baik dan benar? Atau hal itu hanya akan menjadi kenangan dari sejarah Islam masa lampau? Wallahu A’lam Bisshawab.
 
 
Oleh: Mohammad Khoiron, pegiat Islamic Studies.
 
 
Tulisan ini dimuat di NU Online, media online yang menjadi anggota Sindikasi Media Wahid Foundation. 

Bagikan Artikel: