
GAYATRI WEDOTAMI MUTHARI
Pada abad ke-20 M, kita telah melihat Perang Dunia I dan II telah mengorbankan banyak anak manusia, baik jiwa maupun raga. Pada masa yang sama, kolonialisme di sejumlah besar negara juga berakhir, kemudian diikuti dengan Perang Dingin dan disintegrasi yang dialam oleh banyak negara pasca tumbangnya Uni Sovyet. Di tengah-tengah seluruh konflik perebutan kekuasaan itu, peranan kaum perempuan sangatlah penting dalam memulihkan perdamaian yang telah dikoyak-koyak.
Sebagai sosok ibu, perempuan secara alamiah menganut cara pandang pencipta, pemelihara dan pemulih perdamaian. Dalam rangka memulihkan perdamaian, perempuan telah mempelopori terciptanya kembali perdamaian dalam berbagai konflik dan perang di dunia.
DI Bosnia, Kroasia, Kosovo dan Serbia, kaum ibu-lah yang berinisiatif dalam menyambung kembali silaturahmi di antara tiga umat agama yang telah dirobek-robek dalam perang Yugoslavia. Pasca perang, mereka mengadopsi anak-anak yatim yang berbeda agama dan membesarkan mereka tanpa mengarahkan pendidikan agama mereka. Bahkan, mereka juga berinisiatif menadakan pertukaran mahasiswa, dimana mahasiswa Muslim mempelajari Kekristenan, dan mahasiswa Kristen mempelajari Islam, dengan tujuan untuk saling mengenal dan menghormati keyakinan satu sama lain. Demikian juga di Irlandia. Para perempuan Katholik Roma dan Protestan berinisiatif untuk membangun kembali ukhuwah di antara kedua mazhab Kristen tersebut. Presiden Irlandia, Mary MacAleese, seorang Katholik yang taat, selama 14 tahun masa pemerintahannya (1998-2011) telah berperan penting dalam memelihara hubungan kedua umat tersebut.
Apa yang berlangsung di Palestina juga lebih kurang sama. Para ibu Muslim dan Kristen Palestina selalu lebih berhasil mempelopori kesepakatan sebab bekerjasama dengan para ibu Yahudi Israel, Para perempuan Israel-lah yang dikenal mempelopori perdamaian, kadang-kadang dengan ancaman penjara dan dimusuhi baik oleh sesama perempuan Israel maupun masyarakatnya. Mereka bersuara agar perempuan dan anak-anak Palestina dapat memperoleh akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Apa yang masih dialami oleh bangsa Palestina, pernah terjadi di Maluku dan Libanon. Perempuan merupakan penggerak utama terwujudnya perdamaian ketika pecah konflik di Maluku dan Libanon. Alasanya sangat sederhana, karena perempuan adalah pihak pertama yang akan menjadi korban, baik sebagai ibu rumah tangga yang menyelenggarakan kebutuhan keluarga, maupun sebagai seorang perempuan yang menjadi objek seksual.
Dalam perang, perempuan selalu menjadi sasaran utama kekerasan seksual. Baik kekerasan seksual itu bertujuan untuk genosida, maupun karena kebutuhan biologis para tentara, perempuan akan diperkosa maupun dijadikan pelayan seks untuk para tentara. Oleh sebab itu, perempuan-lah yang harus mengumpulkan keberanian untuk mencegah konflik, dan mempelopori perdamaian.
Ada tiga sosok penting perempuan terkemuka di dunia yang telah mempelopori perdamaian dengan mendirikan organisasi yang kini bersifat transnasional dan melibatkan partisipasi dari berbagai umat agama. Padahal, organisasi mereka semula didirikan oleh semangat spiritualitas dan keagamaan tokoh pendirinya. Pertama, Bunda Theresa, seorang biarawati Katholik yang mendirikan Sisters of Charity-nya di India. Kedua, Master Cheng Yen, bikkhuni yang merintis Tzu Chi yang telah menjangkau semua orang di dunia yang mengalami bencana. Ketiga, Chiara Lubich, seorang awam Katholik berkaul yang mendirikan gerakan Focolare yang dikenal aktif dalam dialog antar iman.
Di tengah-tengah maraknya disintergasi antar umat manusia karena radikalisme agama dan intoleransi, kita menemukan sosok seperti Amma, Irina Tweedie dan Karen Armstrong. Amma di India mampu merangkul berbagai umat beragama, sedangkan Syaikha Irina Tweedie menginspirasi berdirinya The Golden Sufi Centre di AS. Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tidak lama kemudian muncul dengan Piagam Perdamaian-nya.
Pendekatan spiritual mereka telah merangkul kebhinekaan untuk dikelola dan dirayakan, bagaikan seorang ibu yang merangkul anak-anaknya yang berbeda-beda agar dapat hidup dalam koeksiostesi, dengan saling mengasihi dan berwelas asih
Dalam sejarah, ada dua cara perempuan terlibat dalam mewujudkan perdamaian. Pertama, memilih mendahulukan negosasi. Hal ini dilakukan dengan sesama perempuan dari kubu lawan yang sama-sama menjadi korban, maupun dengan menggunakan siasat politik di antara para pemimpin. Kedua, perempuan memilih menggunakan daya tariknya maupun kebijaksanaannya sebagai ibu untuk mengakhiri penguasa yang menimbulkan perang dan konflik.
DI Jawa, misalnya kita mengenal sosok seperti Retno Jumilah. Retno Jumilah memilih menerima lamaran Panembahan Senopati untuk mengakhiri perang yang semula ia lancarkan karena tidak ingin negerinya dikuasai Mataram. Namun, ia memilih jalan negoisasi, daripada melanjutkan konflik.
Alkitab mencatat beberapa perempuan. Di antaranya, Esther yang menggunakan daya tariknya memikat Kaisar Persia untuk memgakhiri konflik pemerintah Persia dengan rakyatnya yang beragama Yahudi. Begitu juga Yudith, yang memberanikan diri membunuh raja yang zalim dengan meggunakan kecantikannya. Juga, Yael, seorang perempuan jelata yang melakukan aksi cerdik untuk mengakhiri perang dengan berhasil memperdaya seorang raja lalim sehingga mati. Abigail, istri Daud, tercatat sebagai penasehat perang Daud yang lebih banyak memberi nasehat untuk cara damai daripada tergesa-gesa menyerang musuh.
Dalam Al-Quran, kita juga menemukan sosok Ratu Sheba atau Ratu Balqis. Dalam hikayat, ia dikenal menolak nasehat para punggawanya untuk menyerang Kerajaan Sulaiman dan memilih bernegoisasi dengan Sulaiman.
Maka, sejarah telah menunjukkan bahwa para perempuan pada umumnya tidak tertarik berkonfrontasi. Jika ia harus melakukannya, maka ia akan melakukannya dengan meminimalisasi jatuhnya korban tidak berdosa. Sebaliknya, lelaki secara alamiah dikaruniai kecendrungan untuk berkuasa, untuk menang dan untuk mengendalikan. Secara sosial, para lelaki juga secara umum tidak akrab dengan dunia keseharian rumah tangga yang membutuhkan rasa aman, damai dan tenteram. Saat konflik bergelora, lelaki pergi ke medan pertempuran, dan para perempuan mesti menyaksikan ketakutan anak-anaknya, dan mengalami berbagai kengerian seperti tiada sumber daya makanan dan bahkan ancaman perkosaan.
Oleh karena itu, baik sebagai ibu rumah tangga, wanita karir, figur publik, maupun pemimpin politik, perempuan harus senantiasa terlibat dan berkiprah bagi mewujudnya perdamaian di ladang-ladang konflik dan memelihara perdamaian di kebun-kebun damai yang berpotensi rawan konflik. Para perempuan diharapkan berani mempelopori gerakan-gerakan perdamaian, bukan hanya karena ia akan menjadi korban pertama konflik, tetapi juga karena hanya dengan cara itulah ia akan dapat menyelamatkan anak-anak dan generasi mendatang. Sebagaimana seorang ibu yang memiliki rahim untuk menumbuhkan seorang janin dan melahirkannya dengan segenap hati, perempuan dikaruniai kecendrungan untuk mencurahkan welas asih dan kasih-sayang. Kedua hal inilah kekuatan yang dibutuhkan untuk menciptakan, memelihara dan memulihkan perdamaian di dunia.
Rahayu,
Gayatri Wedotami Muthari,
Sejarawan, filsuf, darwis Daudiyah-Sibghah, aktivis dan pengamat isu perempuan.
Bagikan Artikel: