Kembali
Pelembagaan Model WPS Berbasis Komunitas Desa: Refleksi atas Dua Generasi RAN P3AKS dan Tantangan Kekinian
Ditulis : Admin
Rabu, 6 Agustus 2025

Oleh:
Siti Kholisoh (Managing Director Wahid Foundation)*
Dua periode pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS)[1] sejak tahun 2014 telah menjadi tonggak awal dalam menghadirkan kerangka perlindungan yang lebih sistematis terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak. Namun, refleksi terhadap pelaksanaannya menunjukkan bahwa agenda ini masih sangat relevan dan bahkan semakin mendesak untuk diperkuat dalam konteks sosial-politik Indonesia saat ini. Kompleksitas tantangan baru—mulai dari meningkatnya kekerasan berbasis identitas, intoleransi, krisis alam, kerentanan di ruang digital hingga polarisasi politik—menuntut pendekatan yang lebih adaptif dan transformatif. Wahid Foundation sebagai lembaga yang bekerja langsung di akar rumput menemukan bahwa dalam banyak situasi konflik sosial, perempuan dan anak tidak hanya menjadi korban, tetapi juga sering terpinggirkan dalam proses pemulihan dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, evaluasi terhadap dua generasi RAN P3AKS perlu menjadi pijakan penting untuk merancang kerangka aksi kedepan yang lebih responsif, kontekstual, dan inklusif terhadap realitas lokal.
Laporan KBB 2023 Wahid Foundation mencatat sebanyak 172 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dengan tindakan pelanggaran sepanjang tahun tersebut, yang didominasi oleh kasus penodaan agama, pelarangan tempat ibadah, serta diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan keyakinan.[2] Dalam banyak kasus, perempuan dan anak menjadi korban langsung maupun tidak langsung—mengalami pengusiran karena pernikahan beda agama, kehilangan hak asuh anak, atau tekanan sosial karena keyakinan. Di saat yang sama, Komnas Perempuan melaporkan 330.097 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2023,[3] sebagian besar terjadi di ranah domestik dan masih minim akses keadilan. Politik identitas dan politisasi agama masih menjadi strategi mobilisasi yang merusak kohesi sosial, terutama di masa-masa menjelang pemilu. Produksi regulasi diskriminatif di berbagai daerah menunjukkan bahwa sistem perlindungan sosial dan hukum belum sepenuhnya mengafirmasi kelompok rentan. Temuan-temuan ini menegaskan bahwa pendekatan perlindungan yang bersifat normatif belum cukup—diperlukan strategi baru yang tidak hanya melindungi, tetapi juga memberdayakan perempuan dan kelompok rentan sebagai aktor aktif dalam menjaga perdamaian dan mencegah konflik sosial.
Meskipun RAN P3AKS generasi I dan II telah membuka ruang bagi perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam situasi konflik sosial, pelaksanaannya di lapangan masih bersifat sporadis dan belum terintegrasi secara lintas sektor. Salah satu tantangan utama adalah keterputusan antara kerangka kebijakan nasional dengan mekanisme kelembagaan yang sudah ada di tingkat desa. Padahal, terdapat sejumlah regulasi dan program sektoral yang seharusnya dapat menjadi simpul penting dalam implementasi RAN P3AKS, seperti kebijakan tentang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)[4], program penyuluhan keagamaan di masyarakat, pembentukan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) berdasarkan Permendagri, serta penguatan kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan desa yang telah dijamin dalam Undang-Undang Desa. Namun, seluruh inisiatif tersebut masih berjalan secara terpisah dan belum disatukan dalam satu kerangka kerja terpadu yang menjadikan perempuan dan anak sebagai aktor kunci dalam pencegahan konflik dan pemulihan sosial. Ketidakterhubungan antarunit kerja kementerian/lembaga dan kurangnya panduan implementatif juga menjadi hambatan dalam mengoperasionalisasikan RAN P3AKS secara lebih konkret dan berkelanjutan di tingkat lokal.
Untuk menjawab tantangan pelaksanaan RAN P3AKS yang belum terintegrasi, diperlukan langkah strategis melalui pelembagaan kerangka kerja nasional yang lebih kuat dan pelokalan yang kontekstual. Salah satu usulan penting adalah peningkatan status hukum RAN generasi berikutnya—yang dapat berevolusi menjadi RAN Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS)—ke dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Ini akan memberikan kekuatan koordinasi yang lebih tinggi dan legitimasi politik yang kuat, mengingat isu perdamaian dan keamanan berada dalam domain strategis nasional di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Di tingkat lokal, peluang pelokalan agenda WPS sangat terbuka melalui optimalisasi regulasi yang sudah ada seperti Permendagri tentang Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM)[5] yang memandatkan pelibatan kelompok perempuan, penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di desa, dan Permendes tentang prioritas penggunaan Dana Desa, yang membuka ruang alokasi anggaran untuk perlindungan perempuan dan pencegahan kekerasan berbasis sosial. Pengalaman Wahid Foundation dalam mengembangkan model Desa Damai menunjukkan bahwa ketika perempuan difasilitasi untuk berperan dalam sistem deteksi dini, membangun forum inklusif, serta terlibat dalam perencanaan desa (RPJMDes dan Musrenbang), kapasitas komunitas untuk mencegah konflik dan memperkuat kohesi sosial meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, pelembagaan model WPS berbasis desa tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi juga sudah memiliki fondasi regulatif dan praktik yang dapat diperluas secara nasional.
Wahid Foundation mengusulkan lima langkah strategis untuk memperkuat efektivitas dan keberlanjutan agenda perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konteks perdamaian dan keamanan. Pertama, meningkatkan kerangka regulasi di tingkat nasional guna memastikan koordinasi lintas sektor yang lebih kuat dan penguatan mandat kelembagaan, khususnya dalam isu-isu strategis di bawah koordinasi Kemenko Polhukam. Kedua, mendorong pelokalan agenda WPS di tingkat desa dengan mengintegrasikan program ke dalam regulasi dan struktur yang telah tersedia, seperti Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat desa, serta prioritas penggunaan Dana Desa yang mendukung pencegahan kekerasan berbasis gender dan sosial. Ketiga, memastikan partisipasi bermakna dan kepemimpinan perempuan dalam mekanisme pencegahan konflik dan pemulihan sosial. Keempat, menyusun panduan pelaksanaan lintas kementerian/lembaga yang operasional, terukur, dan dapat diadaptasi sesuai konteks lokal. Kelima, mereplikasi praktik baik berbasis komunitas, seperti model Desa Damai, sebagai pendekatan yang telah terbukti membangun ketahanan sosial dan memperkuat kohesi antarwarga.
Agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS) memiliki relevansi yang tinggi dalam konteks kebijakan sosial Indonesia saat ini. Untuk memastikan keberhasilannya, dibutuhkan kerangka hukum yang kuat, sinergi lintas sektor, serta keterlibatan aktif masyarakat sipil dan komunitas lokal. Dengan demikian, transformasi menuju masyarakat yang damai, setara, dan inklusif dapat diwujudkan secara berkelanjutan melalui pendekatan yang partisipatif dan berkeadilan.
*disampaikan dama Expert Group Meeting Kemenko PMK, KPPPA, UN Women
[1] Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan (Permenkokesra) Nomor 04 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial 2014 – 2019 (fase I), Permenko PMK Nomor 5 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial 2021 - 2025
[2] Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan 2023. Wahid Foundation : Jakarta.
[3] Catatan Tahunan Komnas Perempuan.Ringkasan Data : Menata Data dan Menajamkan Arah “Refleksi Pendokumentasian dan Tren Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 2024. 2025
[4] Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri dalam Pemeliharaan Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama.
[5] Permendagri Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kewaspadaan Dini di Daerah.
Bagikan Artikel: