Kembali
Gus Dur dan Merawat Hidup Bersama Sebagai Sebuah Bangsa
Ditulis : Admin
Sabtu, 26 Januari 2019
Riwanto Tirtosudarmo*
Catatan singkat atas buku “Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka.”
Dalam sebuah kuliah umum yang diberikan, setelah 27 tahun dilarang masuk Indonesia oleh rezim Orde baru, Ben Anderson menegaskan bahwa Indonesia seharusnya dilihat sebagai sebuah proyek bersama. Menurut Ben, pada kuliah umum yang diselenggarakan pada tanggal 4 Maret 1999 - jadi bertepatan dengan sedang berkecamuknya konflik dan ketegangan yang mengancam kehidupan berbangsa saat itu, Indonesia harus dilihat bukan sebagai warisan dari nenek moyang yang hidup di masa lalu; Indonesia adalah sebuah proyek bersama untuk masa depan. Menempatkan Indonesia sebagai proyek bersama, berarti menempatkan seluruh warganegara tanpa kecuali, dalam posisi setara, saling menghormati dan tidak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain.
Saya tidak tahu apakah Gus Dur hadir pada kuliah umum Ben Anderson yang diselenggarakan oleh Majalah Tempo di hotel Borobudur Jakarta yang konon dihadiri oleh banyak tokoh masyarakat dan para cendekiawan itu. Kita tahu, saat itu Gus Dur belum menjadi presiden, boleh jadi sebagai salah seorang tokoh masyarakat dan cendekiawan terkemuka, Gus Dur menghadiri kuliah umum itu. Tetapi, hadir atau tidak hadir disitu, menurut saya tidak penting, karena tanpa mendengarkan kuliah Ben Anderson itu pun, saya kira Gus Dur punya pemikiran yang sama, bahwa Indonesia adalah sebuah proyek bersama. Justru, kelebihan Gus Dur dari Ben Anderson adalah bahwa Gus Dur tidak hanya berpikir tentang masa depan Indonesia, tetapi sejak awal terlibat dalam berbagai proyek, besar atau kecil, untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah milik bersama, semua warganegara, tanpa memandang latar belakang etnis atau agamanya..
Catatan pendek atas buku Ahmad Suaedy ini saya beri judul “Gus Dur dan merawat hidup bersama sebagai sebuah bangsa”, karena dari suri teladan yang begitu banyak dari Gus Dur kepada kita, menurut hemat saya, salah satunya, mungkin yang terpenting, adalah bagaimana kita mengelola hidup bersama sebagai sebuah bangsa yang memiliki latar belakang asal usul yang begitu beragam. Buku Ahmad Suaedy yang sedang kita bicarakan ini, adalah sebuah kajian akademis tentang bagaimana Gus Dur memikirkan dan mempraktekkan sepanjang hidupnya bagaimana semestinya kita hidup bersama sebagai sebuah bangsa; dan bagaimana Indonesia ditempatkan sebagai sebuah proyek bersama untuk mencapai kehidupan yang adil dan sejahtera bagai seluruh warganegara tanpa memandang latarbelakang mereka. Ahmad Suaedy sebagai orang yang secara pribadi dekat dengan Gus Dur, mengakui begitu banyak aspek yang menarik yang bisa dikaji dari Gus Dur, dan untuk itu dia harus memilih. Pilihannya jatuh pada sebuah moment penting saat Gus Dur sebagai presiden harus mencari jalan keluar dari persoalan pelik tuntutan merdeka di Aceh dan Papua.
Sebagai kajian akademis yang harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk sebuah tesis doktor, jelas Ahmad Suaedy tidak bisa seenaknya dibandingkan jika kajian itu sekedar untuk diterbitkan sebagai buku. Kajian yang dilakukannya haruslah memenuhi kaidah dan standar lazimnya sebuah disertasi, dan Ahmad Suaedy telah berhasil melewati semua persyaratan akademis itu. Tidak mengherankan ketika disertasi itu diterbitkan sebagai buku, kita mendapatkan sebuah buku yang berbobot secara akademis. Menilai buku ini, tentu tidak adil kalau menempatkannya seolah-olah buku ini masih berwujud sebuah disertasi doktor. Saya menduga, mungkin saya keliru, ada bagian-bagian yang dianggap terlalu teknis untuk pembaca umum, dari disertasi itu, misalnya bab tentang metodologi, yang barangkali dihilangkan, atau dipersingkat penyajiannya agar tidak membosankan pembaca umum. Beberapa bagian mungkin tambahan baru yang dimaksudkan untuk memudahkan pembaca mengikuti alur analisis yang dilakukan – yang semula mungkin dirasakan kaku.
Meskipun telah mengalami revisi dari bentuk aslinya, saya menilai buku ini masih terasa tebal dan berat bagi umumnya pembaca. Ada beberapa kesalahan ketik, misalnya Schulte N Nordholt ditulis Chulte N Nordholt; dan beberapa kalimat yang terasa menggantung, misalnya “tahap pertama adalah heuristik atau pengumpulan data” (hal. 23); namun secara keseluruhan buku ini telah berhasil menyajikan argumentasi dan narasi secara koheren. Buku ini menjadi tebal karena Suaedy tidak ingin melewatkan peristiwa dan kisah-kisah (kadang-kadang memang terulang di berbagai bab) yang bagi yang lain mungkin dianggap sepele; untuk meneguhkan argumentasinya tentang pentingnya mengetahui proses yang terjadi, baik ketika Gus Dur menangani konflik Aceh atau Papua maupun ketika menjelaskan latarbelakang lahirnya islam Nusantara. Uraian tentang kronologi peristiwa, deskripsi toloh-tokoh - tentu terutama Gus Dur sendiri - yang terlibat; baik dari sumber sekunder maupun dari hasil wawancara mendalam dengan narasumber yang jumlahnya cukup banyak; saya rasa menjadi salah satu kekuatan buku ini, dibandingkan dengan buku-buku lain yang juga mengupas konflik Aceh dan Papua. Buku ini menjadi sumber pengetahuan yang penting bagi mereka yang ingin mendalami lebih lanjut konflik Papua dan Aceh. Kita bisa mengatakan bahwa Ahmad Suaedy adalah seorang pencatat peristiwa yang sangat teliti, modal dasar seorang peneliti yang handal.
Selain menyajikan kronologi peristiwa dan narasi sejarah yang sangat rinci, kekuatan lain buku ini adalah referensi kepustakaan yang sangat lengkap, sulit untuk melihat judul buku tentang konflik Aceh dan Papua yang terlewat. Suaedy juga menyajikan hasil bacaannya terhadap buku-buku itu dengan baik. Sedikitnya kutipan langsung menunjukkan Suaedy telah berhasil mencerna substansi buku atau artikel-artikel jurnal yang diacunya secara memadai. Ketangguhannya sebagai seorang pencari informasi dibuktikan dari tidak sedikitnya karya-karya disertasi doktor yang masih belum diterbitkan yang berhasil diperolehnya. Sebuah prestasi yang tidak mungkin dicapai jika seseorang tidak memiliki tingkat pergaulan dan jaringan yang luas, di dalam maupun di luar negeri. Sebagai sebuah disertasi yang dipertahankan di sebuah universitas Islam, yang juga almamater sarjananya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta; dalam menganalisis konflik Aceh dan Papua, hukumnya wajib untuk memiliki relevansi dengan kajian Islam. Ini akan lain ceritanya, seandainya disertasi itu dipertahankan di FISIPOL UGM misalnya. Konten kajian Islam inilah yang membawa kita sebagai pembaca diajak oleh Suaedy menukik pada ketokohan Gus Dur sebagai seorang pemikir dan pemimpin umat Islam, khususnya NU.
Ibarat buku yang terbuka, sepak terjang Gus Dur sebagai pemikir dan pemimpin Islam, sudah cukup banyak ditulis; baik oleh Gus Dur sendiri maupun oleh orang lain. Gus Dur, seperti presiden pertama kita Sukarno, adalah seorang cendekiawan publik, yang banyak menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai media; Koran, jurnal ilmiah, makalah seminar, maupun buku. Baik Sukarno maupun Gus Dur, adalah pemimpin yang lahir dari tengah-tengah ketegangan masyarakatnya, dan tidak henti-hentinya menuliskan pemikirannya, tentang bagaimana membawa masyarakatnya, terutama yang terpinggirkan, menjadi masyarakat yang lebih damai dan sejahtera hidupnya. Jika Sukarno berangkat dari dunia sekuler, Gus Dur berangkat dari dunia pesantren. Keduanya dikaruniai kemampuan membaca karya-karya yang berpengaruh di dunia internasional. Keduanya bisa dilihat sebagai otodidak yang mampu menerjemahkan pikiran-pikiran yang berkelas dunia ke publiknya yang merupakan masyarakat awam. Presiden Sukarno dan presiden Gus Dur tumbuh dari kancah pergulatan politik yang konkrit namun fasih dalam berdialog dengan mitra-mitranya di dunia internasional. Seperti Sukarno, Gus Dur sangat mencintai bangsanya; dan keduanya terjungkal dari kursi kepresidenan karena tidak peduli dengan risiko politik yang menghadang demi kecintaannya yang dalam pada bangsanya.
Uraian dan analisis Ahmad Suaedy tentang pemikiran keislaman dan keindonesiaan dari Gus Dur merupakan bagian yang sangat menarik. Emik dan etik yang biasa menjadi pedoman para peneliti social menjadi tidak relevan lagi karena Suaedy sendiri adalah peneliti dan pelaku dalam menyelami sepak terjang dan jejak pemikiran Gus Dur. Suaedy tidak ragu-ragu menilai dirinya subjektif karena kedekatannya dengan Gus Dur (hal. 23). Menurut hemat saya ini bukan masalah karena Suaedy tidak sedikit menggunakan referensi dari tulisan orang lain tentang Gus Dur maupun penilaian narasumber yang diwawancarai tentang pemikiran dan sepak terjang politik Gus Dur. Suaedy pun tidak segan-segan menkonter para pengkritik Gus Dur, dengan cara melihat dari perspektif yang berbeda. Lihat misalnya konter Suaedy terhadap kritik Mietzener dan Aspinal (hal. 36) dan Benny Subianto (hal. 41). Dalam hubungan ini, jika ada kekurangan dari buku ini, dan ini diakui sendiri oleh Suaedy (lihat hal. 23) adalah ketidakmampuannya (mungkin lebih tepat belum sempatnya) Suaedy mengungkapkan kelemahan-kelemahan Gus Dur. Mungkin dalam kesempatan yang lain, saya percaya, Suaedy mampu mengambil jarak dan dengan jernih bisa mengemukakan kritiknya terhadap Gus Dur, baik sepak terjang politikya maupun butir-butir renungan dan pemikirannya.
Sebagai sebuah buku yang semula merupakan disertasi doktor, bagian yang terpenting adalah apa tesis-tesis yang ingin dimajukannya. Dalam bagian yang biasanya tersulit dari pengalaman menulis sebuah disertasi, upaya mensintesiskan deskripsi tentang fakta-fakta yang ditemukan menjadi sebuah konstruksi teoretis dengan konsep-konsep yang telah terdefinisikan lingkup dan batas-batasnya. Saya menemukan dua konsep penting yang menjadi dasar tesis keseluruhan buku (sebelumnya disertasi) dari Ahmad Suaedy, yaitu: Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka. Dalam ranah publik istilah Islam Nusantara telah lama menjadi bagian diskursus politik, khususnya Islam, di Indonesia. Suaedy secara samar-samar mengatakan bahwa istilah Islam Nusantara adalah temuannya, yang dia pakai dalam berbagai tulisan sebelumnya (hal. 4). Sementara Kewarganegaraan Bineka adalah istilah yang ditemukannya dalam proses menulis disertasi yang kemudian menjadi buku ini.
Suaedy menyimpulkan bahwa konflik Aceh dan Papua pada intinya didasari oleh adanya krisis kewarganegaraan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Krisis kewarganegaraan itu terjadi karena adanya bentuk kewarganegaraan – yang diistilahkannya sebagai “state centric” – yang dipaksakan dari atas oleh Negara (state) kepada warganegara, dalam hal ini, warga Aceh dan Papua. Pemaksaan bentuk kewarganegaraan yang “state centric” ini dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui berbagai pendekatan yang bersifat militeristik. Suaedy berpendapat bahwa sebagai sebuah “nation-state”, kewarganegaraan bisa dilihat dari dua sisi, “state” dan “nation” yang semestinya seimbang. Krisis kewarganegaraan terjadi karena sisi kewarganegaraan yang berpusat pada “nation” diabaikan, padahal sisi ini sangat penting untuk terciptanya sebuah “nationhood” – sebuah perasaan sebangsa. Dengan cara pandang seperti ini, Suaedy melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Dur adalah “membalik pendekatan Orde Baru yang militeristik dengan pendekatan Gus Dur yang menekankan pentingnya perasaan sebangsa, kesetaraan dan penghormatan pada aspek-aspek sosial kultural dari masyarakat Aceh dan Papua.
Secara meyakinkan Suaedy menerangkan bahwa sumber inspirasi semua itu adalah perspektif Islam Nusantara yang telah mendarah daging dalam pemikiran dan sepak terjang politik Gus Dur. Dengan melacak perjalanan karir Gus Dur sejak muda yang telah mondok di berbagai pesantren besar di Jawa, pengalaman belajarnya di Mesir, Irak, Eropa dan Kanada; serta pergaulannya sebagai anak Menteri yang tinggal di Menteng Jakarta, tak pelak lagi Gus Dur telah berkembang menjadi sebuah sosok kosmopolitan yang komplit, yang sulit tertandingi oleh siapapun. Tradisi besar keluarganya sebagai pendiri dan penerus pimpinan NU – sebuah Ormas Islam terbesar di Indonesia, menjadikan Gus Dur tidak hanya merupakan seorang cendekiawan yang disegani namun juga merupakan pemimpin umat yang memiliki legitimasi tinggi dan penuh karisma. Pesona Gus Dur yang juga penting adalah artikulasi komunikasinya yang baik disertai sense of humor yang tinggi. Salah satu karakterisasi yang dibuat Suaedy, dan saya kira cukup tepat, adalah bahwa Gus Dur pada dasarnya adalah seorang tokoh yang anti kemapanan. Ketika para cendekiawan berbondong-bondong membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai ICMI, Gus Dur justru nyempal sendiri, dan membentuk apa yang dikenal sebagai FORDEM (Forum Demokrasi) dengan kawan-kawannya yang sebagian tidak memiliki kredensial Islam.
Bisa dibaca bahwa Gus Dur telah menempatkan Islam sebagai sebuah paham yang sejatinya bersifat terbuka, toleran dan inklusif. Pelacakan Suaedy terutama terhadap berbagai “piagam” dan risalah-risalah yang dihasilkan oleh NU jauh sebelum kemerdekaan menunjukkan dengan jelas bagaimana NU sejak awal telah menempatkan dimensi kebangsaan sebagai payung, yang tidak hanya memayungi umat Islam tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat yang lain yang bukan Islam. Sebagai seorang yang dibesarkan di pusat tradisi yang kuat Gus Dur telah mewarisi paham keislaman yang menjunjung tinggi nilai kebangsaan yang mampu membingkai kelompok-kelompok masyarakat yang beragam (bineka) dan menolak paham keislaman sempit yang hanya memikirkan kelompoknya sendiri. Apakah fenomena ini yang pada gilirannya melahirkan istilah Islam Nusantara, tampaknya perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut. Islam Nusantara, sebagai sebuah jargon politik, saya kira tidak jadi soal, tetapi sebagai sebuah konsep dalam ranah ilmu-ilmu sosial, menurut hemat saya perlu didiskusikan lebih lanjut.
Begitu juga dengan istilah Kewarganegaraan Bineka, apakah cukup “rigorous” untuk dimajukan sebagai sebuah konsep dalam ilmu-ilmu sosial, sebagaimana diakui sendiri oleh Suaedy dalam bukunya (hal. 449) perlu dilakukan kajian-kajian lanjutan untuk meneruskan kajian yang menurut hemat saya, bisa disebut kajian rintisan - yang telah dimulai oleh Suaedy. Sebagaimana kita tahu, kajian tentang kewarganegaraan di Indonesia masih sangat sedikit. Jika kita membuka literature tentang studi-studi tentang kewarganegaraan (citizenship) kita akan menemukan kebanyakan adalah yang berkaitan dengan isu kewarganegaraan Orang Tionghoa – yang untuk waktu lama memang mengalami diskriminasi dan pembatasan hak-haknya sebagai warganegara. Di luar itu, hampir tidak ada kajian tentang kewarganegaraan dalam kajian ilmu sosial di Indonesia. Dalam konteks ini, Ahmad Suaedy, telah melakukan terobosan, untuk membuka diskusi tentang masalah kewarganegaraan, dan menawarkan sebuah konsep baru yang disebutnya sebagai Kewarganegaraan Bineka.
Dalam kajiannya Suaedy mengacu pada studi yang dilakukan oleh Renato Rosaldo yang memperkenalkan konsep “cultural citizenship” yang dia pakai untuk menjelaskan status kewarganegaraan kelompok-kelompok minoritas etnik yang bermukim di wilayah perbatasan nation-state di Asia Tenggara. Selain dari Renato, Suaedy juga mengacu pada studi-studi tentang multikulturalisme, antara lain dari Kymlica, seorang penggagas istilah multicultural citizenship, juga tentang kelompok-kelompok etnik marjinal di negara-negara liberal kapitalis, seperti Kanada, Australia dan Inggris. Yang mungkin perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh oleh kalangan ilmuwan sosial di Indonesia adalah terdapatnya “historical trajectories” yang menjadi konteks dari lahirnya konsep-konsep tersebut. Dari pengamatan saya isu kewarganegaraan sering muncul pada negeri-negeri imigran, Malaysia dan Singapura adalah contoh terdekat. Sementara penduduk Indonesia mayoritas sudah sejak awal menjadi penghuni negeri ini. Kita harus berterima kasih pada Ahmad Suaedy yang telah berusaha dengan argumentasi, data dan interpretasi yang kreatif untuk merintis kajian-kajian tentang kewarganegaraan yang sejatinya sangat penting bagi kelangsungan masa depan Indonesia sebagai sebuah proyek bersama, tetapi masih begitu sedikit disentuh oleh para ilmuwan sosial Indonesia.
Jakarta, 22 Januari 2019.
(Source foto by: biomasssociety.org)
Bagikan Artikel: