Kembali
Social Project I: Cerita Iqbal, Menyemai Literasi Kesetaraan Gender di Pesantren Labuan Bajo
Ditulis : Admin
Minggu, 16 Juni 2024
Di tengah budaya patriarki yang mengakar kuat di lingkungan pesantren, Muhammad Iqbal Akmaluddin, seorang santri dari Tasikmalaya yang mengabdi di PCNU Manggarai Barat, membawa angin segar tentang kesetaraan gender. Tergerak oleh ketimpangan peran yang ia saksikan, Iqbal tertantang untuk membuka wawasan masyarakat dan pesantren tentang hak dan potensi perempuan yang adil dan setara.
Perjalanannya tidak mudah. Mengubah kultur sudah lama tertanam bukan perkara gampang. Namun, tekad Iqbal tidak goyah. Keresahan dan keyakinan untuk membawa perubahan itulah yang kemudian membawa Iqbal mengikuti kegiatan Gus Dur School for Peace (GDSP) batch V yang diselenggarakan oleh Wahid Foundation. Selama mengikuti pelatihan, Iqbal fokus mendalami pemikiran Gus Dur tentang kesetaraan.
"Banyak yang saya dapatkan dari kegiatan GDSP ini, terutama bagaimana konsep kesetaraan dan keadilan Gus Dur. Saya semakin yakin dengan pandangan saya dan dengan apa yang akan saya kerjakan. Setidaknya inisiatif baik ini dapat berkontribusi dalam mengubah sudut pandang patriarkis di pesantren dan masyarakat Labuan Bajo secara umum," jelas Iqbal dengan penuh semangat.
Berbekal ilmu dan semangat baru, Iqbal menyusun rencana proyek sosial bertajuk "Seminar Gender" yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kesetaraan kepada siswa dan santri di Manggarai Barat. Ide ini lahir dari kekhawatiran Iqbal akan minimnya literasi gender di kalangan generasi muda, yang menurutnya menjadi salah satu faktor utama budaya patriarki yang masih kuat.
"Salah satu faktor kuat budaya patriarki yang masih mengakar di sini juga disebabkan minimnya literasi kesetaraan, saya berharap dengan pelatihan literasi kesetaraan gender ini dapat sejak dini diajarkan kepada siswa-siswi maupun santri di sini," tegasnya.
Seminar yang diadakan di Pondok Pesantren Nurul Fatah Manggarai Barat pada 2 Maret 2024 itu mendapat sambutan meriah. Meski sempat ragu, ternyata, 36 peserta dengan antusias mengikuti pemaparan dua pemateri yang membahas gender dari perspektif Islam dan konteks lokal di Manggarai Barat.
“Saya mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat, santri, maupun orang tua. Bahkan pihak pesantren juga merespon sangat baik dan mempersilahkan saya bersama teman-teman menyelenggarakan kegiatan tersebut,” tuturnya.
"Momen yang saya harapkan akhirnya mulai muncul, di mana peserta mulai dapat membaca situasi sekitarnya yang selama ini dianggap lumrah ternyata menegasikan peran perempuan," kata Iqbal dengan penuh rasa bangga.
Semangat Iqbal tak berhenti di situ. Ia melanjutkan dengan Focus Group Discussion (FGD) untuk membantu peserta menerjemahkan pengetahuan yang mereka peroleh menjadi aksi yang diamalkan di masyarakat.
"Meskipun misalnya peserta belum memiliki kesiapan untuk langsung terjun di tengah masyarakat paling tidak mereka bisa menerapkannya di keluarganya dulu," jelas Iqbal. "Dan selama saya di Labuan Bajo saya Insya Allah siap untuk terus mengawal isu ini dan membersamai teman-teman santri," imbuhnya.
Bagi Iqbal, pendidikan adalah kunci untuk memutus rantai ketimpangan gender. Dengan membekali generasi muda dengan literasi gender, Iqbal berharap problem ketimpangan hierarki sosial di Manggarai Barat akan semakin berkurang di masa depan.
"Kalau mengubah secara langsung tidak mudah, tapi kita dapat mulai dari lingkungan pendidikan dulu. Kita bekali dengan literasi untuk santri dan siswa. Di wilayah yang saya jangkau saya berusaha menyediakan buku-buku agar generasi muda lebih terbuka dan harapannya dalam jangka panjang problem sosial di Manggarai Barat semakin berkurang," jelas Iqbal.
Kisah Iqbal adalah contoh inspiratif bagaimana tekad dan kegigihan individu dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat. Ia menunjukkan bahwa dengan semangat dan strategi yang tepat, perubahan yang positif dapat diraih di masa yang akan datang.
Bagikan Artikel: