Kembali
Aksi Masyarakat Pati: Menguak Krisis Kepercayaan dalam Demokrasi
Ditulis : Admin
Rabu, 13 Agustus 2025

Selama dua minggu terakhir, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi sorotan nasional akibat aksi solidaritas masyarakat yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen yang diusulkan Bupati Sudewo. Ribuan warga bersatu, menggalang donasi logistik berupa air mineral, makanan ringan, dan perlengkapan demonstrasi yang menggunung di sekitar Pendopo Bupati. Dukungan ini tidak hanya datang dari warga lokal, tetapi juga dari perantau di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, bahkan dari luar negeri seperti Malaysia dan Arab Saudi. Pemicu aksi ini adalah kebijakan yang dinilai membebani rakyat kecil, respons arogan bupati terhadap kritik—termasuk tantangan terbuka untuk berdemonstrasi—serta kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun bupati telah meminta maaf dan membatalkan kenaikan pajak, aksi besar-besaran pada 13 Agustus 2025 tetap berlangsung dengan tuntutan baru: pengunduran diri bupati. Gelombang dukungan warganet dari seluruh Indonesia memperkuat fenomena ini, mencerminkan solidaritas nasional untuk keadilan dan akuntabilitas pemerintahan.
Fenomena di Kabupaten Pati menggambarkan bagaimana ketidakpuasan warga terhadap kebijakan yang tidak berpihak, ditambah sikap pemimpin yang menutup ruang dialog dan minim transparansi, dapat memicu gerakan kolektif. Dari aksi lokal, solidaritas ini berkembang menjadi dukungan nasional melalui media sosial, menegaskan bahwa kepercayaan publik adalah pilar utama demokrasi. Ketika kepercayaan itu retak, legitimasi pemerintahan pun melemah, menciptakan jarak antara rakyat dan pemimpin.
Wahid Foundation memandang peristiwa di Pati sebagai cerminan krisis kepercayaan yang mendalam dalam sistem demokrasi. Aksi masyarakat ini menunjukkan bahwa rakyat tidak hanya menuntut kebijakan yang adil, tetapi juga pemimpin yang mau mendengar, transparan, dan bertanggung jawab.
Ketidakpercayaan publik bukan sekadar reaksi sementara, melainkan sinyal bahwa fondasi demokrasi sedang diuji. Ketika pemimpin gagal menjaga amanah rakyat, kebijakan menjadi sulit diterima, otoritas moral dan politik merosot, dialog publik terhenti, dan warga cenderung apatis atau memilih jalur perlawanan. Fenomena lokal seperti di Pati bahkan berpotensi memicu gelombang nasional, menunjukkan betapa rapuhnya sistem pemerintahan tanpa dukungan rakyat.
“Peristiwa di Pati adalah cermin bahwa kepercayaan publik adalah nyawa demokrasi. Pemimpin yang bijak adalah mereka yang mendengar aspirasi rakyat, transparan dalam setiap langkah, dan memprioritaskan kepentingan masyarakat. Ketidakpercayaan tidak hanya melumpuhkan kebijakan, tetapi juga mengancam stabilitas sosial. Pati mengajarkan kita bahwa rakyat adalah penentu utama legitimasi sebuah pemerintahan,” ujar Siti Kholisoh, Managing Director Wahid Foundation.
Mengutip KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Keberhasilan pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam mensejahterakan umat yang mereka pimpin.” Pemimpin sejati menjaga amanah dengan mendengarkan rakyat sebelum memutuskan, transparan dalam setiap proses, dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat kecil sebelum mengejar popularitas. Demokrasi yang sehat lahir dari pemimpin yang setia pada amanah rakyat setiap hari, bukan hanya saat mencari suara di masa pemilu.
Wahid Foundation mendukung perjuangan masyarakat Pati yang memperjuangkan hak mereka secara damai dan konstitusional. Kami mengajak semua pihak—baik pemerintah, masyarakat sipil, maupun pemangku kepentingan lainnya—untuk menjadikan fenomena ini sebagai pelajaran berharga guna memperkuat kepercayaan publik dan legitimasi pemerintahan di Indonesia. Kepercayaan rakyat adalah nyawa demokrasi, dan menjaganya adalah tanggung jawab bersama.
Bagikan Artikel: