Kembali

Yenny Wahid: Intoleransi Bisa Diatasi dengan Mengurangi Perasaan Terancam dan Mengurangi Ketimpangan Ekonomi-Sosial.

Ditulis : Admin

Jumat, 10 Mei 2019

Dalam sejumlah riset dan survei Wahid Foundation (WF) mencatat, salah satu faktor utama penyebab intoleransi adalah perasaan terpinggirkan dan terampas dari kehidupan sosial, politik atau ekonomi. Disebut juga sebagai perasaan teralineasi dan terdeprivasi. Misalnya, penilaian atau perasaan di lingkungan sebagian umat Islam Indonesia bahwa ekonomi orang Islam lebih buruk; muslim diperlakukan tak adil, atau suara Non-Muslim lebih berpengaruh dibanding umat Islam.

Menurut Survei Nasional Tren Toleransi di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia 2017, lembaga ini mencatat sebanyak 14.8 % responden mengalami perasaan terdeprivasi, sekitar 24 juta muslim jika diproyeksikan dengan 164 juta pemilih muslim di Tanah Air. Jumlah mereka yang netral, artinya antara merasa terdeprivasi atau tidak, lebih banyak lagi: 57.5% atau sekitar 94 juta muslim.

Masih dalam laporan yang sama, penilaian terhadap ekonomi nasional –termasuk terhadap kondisi keagamaan dan penegakan hukum—juga menjadi salah satu faktor paling berpengaruh meningkatkan resiko tindakan radikalisme, atau aksi-aksi untuk mendukung  atau berpartisipasi dalam tindakan kekerasan. Sebanyak 4.2 % responden mengaku jika kondisi keamanan, penegakan hukum, dan ekonomi nasional dinilai buruk. Sementara 44.5% menyatakan baik, dan 51.3% menyatakan sedang.

Perasaan terancam, terdeprivasi, atau penilaian terhadap kondisi nasional belum tentu sejalan fakta obyektif. Ia bersifat subyektif dan bahkan bisa bertolakbelakang dengan kenyataan. Perasaan semacam ini dengan begitu berkaitan dengan pengetahuan, informasi yang diterima, atau sikap serta pandangan mereka yang sudah terbentuk sebelumnya. “Bisa dipahami jika perasaan semacam ini dapat kian membesar lewat informasi berisi berita palsu atau ujaran-ujaran kebencian yang beredar di media sosial. Apalagi masih dijumpai ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat. Di sinilah perusahaan media sosial dan pers berperan besar dalam mengurangi intoleransi,” kata Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid, Kamis (9/5). 

Pernyataan ini disampaikan puteri kedua mendiang KH. Abdurrahman Wahid ini dalam diskusi bertajuk “Peran Media memperkuat Toleransi” di Rumah Pergerakan Gus Dur di Jalan Taman Amir Hamzah. Perhelatan ini juga sekaligus menandai aktifnya kembali Yenny di lembaga yang didirikannya pada 2004 itu. Sebelumnya dalam masa kampanye, Yenny memutuskan non-aktif sebagai Direktur WF karena menjadi tim sukses pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin.

Tantangan ini sebetulnya bukan hanya milik Indonesia, tapi tengah menjadi gejala global. Jika di Indonesia intoleransi muncul terjadi dalam bentuk diskriminasi terhadap kelompok Kristen, Ahmadiyah, Syiah, LGBT, atau mereka yang beberda pilihan politik, maka di di sejumlah negara berat lahir dalam bentuk islamophobia, anti-semitisme, atau anti kaum imigran. Sebagian korbannya komunitas muslim.

Intoleransi juga menjadi efektif karena praktik politisasi identitas atau bahkan politisasi kebencian terhadap kelompok yang berbeda. Politisiasi yang dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk penyalahgunaan identitas agama, keyakinan, orientasi seksual, gender, atau pilihan politik sebagai kapital politik oleh suatu kelompok, institusi, atau kegiatan yang diarahkan untuk mencapai kepentingan dalam mencapai atau mempertahankan kekuasaan.

Seperti dilaporkan sejumlah lembaga, praktik-praktik penyebaran berita palsu dan yang berisi kebencian banyak bermunculan menjelang Pilpres 2019, bahkan terus berlanjut hingga hari ini. Praktik-praktik semacam ini bukan hanya menyasar pasangan Joko Widodo-KH. Maruf Amin, tetapi juga Prabowo-Sandiaga Uno. Tak bisa dibantah, politisasi semacam ini bakal makin memperkuat segreasi, menanamkan ketidaksukaan terhadap kelompok yang berbeda, dan menyusutkan rasa solidaritas, persaudaraan, dan kohesi sosial.

Sejauh ini, lanjut Yenny, faktor-faktor pemicu intoleransi itu menjadi perhatian  lembaga ini. Perasaan teralienasi dan terampas dalam isu ekonomi misalnya direspons dengan mengembangkan Program Desa Damai. Program itu diharapkan bisa menjadi salah satu jawaban atas menguatnya intoleransi dan radikalisme yang juga menyebar hingga desa. Salah satunya melalui peningkatan kapasitas perempuan dan pemberdayaan ekonomi. Pendekatan ini memberi kesempatan masyarakat memperkuat rasa persaudaraan dan kepercayaan melalui forum-forum yang dikembangikan. Saat ini WF memiliki 9 desa yang mendeklarasikan sebagai desa damai; mendorong lebih dari 1000 kelompok perempuan usaha kecil, meningkatkan kapasitas lebih dari 2000 perempuan dampingan Desa Damai. Selain itu WF juga memiliki Koperasi Cinta Damai (Kocida) dengan omset yang dikelola hingga hampir 1 milyar.

Untuk menyasar pelajar dan lingkungan pendidikan, WF mengembangkan Program Sekolah Damai di 20 sekolah negeri di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Program ini berhasil melibatkan 60 kepala sekolah dan 60 guru agama Islam, 180 pengurus rohis dari 20 sekolah, dan menyasar lebih dari 4000 pelajar di empat provinsi tersebut. Sekolah Damai bertujuan untuk menguatkan toleransi dan mengimplemtasikan sistem pencegahan intoleransi. “Program ini bagian dari cara kami berkontribusi menyiapkan generasi muda yang tanggu dari terpaan intoleransi dan radikalisme,” ungkap Yenny.

Untuk memperbanyak konten positif berisi pesan toleransi, damai, dan kritis, sejauh ini Wahid Foundation memproduksi lebih dari 500 desain grafis, 200 artikel, dan 200 video sekaligus mendistribusikannya melalui berbagai akun media sosial WF.

Di bidang kebijakan, bersama jaringan organisasi masyarakat sipil bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tengah mendorong lahirnya Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan. Dokumen itu berisi aksi-aksi strategis bagaimana Kementerian/Lembaga mengatasi ekstremisme kekerasan, mulai pencegahan, hingga deradikalisasi.

Dalam kegiatan itu, Yenny juga menyampaikan sejumlah program rintisan yang tengah dikembangkan WF, antara lain program helpline Toleran dan penguatan jaringan penceramah. Program helpline merupakan program yang menyediakan volunteer dan ahli untuk membantu para keluarga atau masyarakat mengenali dan mencegah intoleransi dan radikalisme. Sementara penguatan jaringan penceramah bertujuan untuk mendorong mereka memperkuat pesan toleransi dan perdamaian melalui mimbar dan forum-forum ceramah di media sosial atau televisi.

Dalam dua-tiga tahun mendatang, WF juga bakal memperluas area sasaran terutama Sumatera, Kalimantan, dan NTB. Dalam lima tahun belakangan, sejauh ini WF masih banyak mengembangkan program-program di Pulau Jawa. “Upaya-upaya penguatan toleransi harus dilakukan secara merata dan luas. Kita harus mendorong kohesi sosial di antara masyaraat yang berbeda, merangkul semua dan memastikan bahwa mereka merasa aman dan tidak dipinggirkan,” tandasnya.

Bagikan Artikel: