Kembali

Sejarah Panjang Jilbab

Ditulis : Admin

Senin, 12 Februari 2018

Jakarta – Salah satu acara menarik yang digelar dalam rangkaian kegiatan Festival Toleransi Rakyat (Peace Festival 2018) di Piazza, Gandaria City Mall, Jakarta adalah talk show tentang hijab atau jilbab.

Mengangkat tema ‘Perempuan Muslimah Membangun Perdamaian: Antara Kesalehan Pribadi dan Kesalehan Sosial’, talk show ini berlangsung seru. Sebagian besar hadirin yang terdiri dari ibu-ibu itu tampak antuasias mengikuti jalannya acara.

Sebagian bahkan tak segan-segan melontarkan pertanyaan tajam kepada pembicara. Ditanyakan misalnya bagaimana cara agar perempuan tidak lagi ditekan–tekan soal pemakaian jilbab ini.

Para pembicara dalam talk show ini antara lain Dosen Studi Al Quran Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran Nur Rofiah, Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid, Pengurus MUI Pusat KH Abdul Moqsith Ghazali, dan artis Zee Zee Shahab. Sakdiyah Ma’ruf, salah seorang stand-up comedian, menjadi bertindak selaku moderator. 

Dalam pemaparannya Nur Rofiah menerangkan bahwa ajaran tentang jilbab terkait dengan hukum Al Quran, di mana Islam bergerak secara revolusioner untuk memanusiakan perempuan. Hal ini terlihat jelas. Namun dalam hal ini Islam tak hanya membahas jilbab dalam tampilan fisik semata, tapi juga nuansa spiritual. Perempuan bukan sekadar makhluk biologis (seksual) namun juga makhluk intelektual dan spiritual. 

Karena itu, kata Nur Rofiah, Al Quran menegaskan bahwa ‘pakaian takwa’ itu menjadi nilai utama. Dalam jilbab ada spirit yang tak bisa ditinggalkan, yakni ‘pakaian takwa’ (libasut taqwa). Pakaian takwa itu dapat mencegah pemakainya untuk berbuat kejelekan, tapi mendorongnya untuk berbuat baik. 

“Jilbab tak hanya soal pakaian, tapi juga soal penghayatan kedirian si pemakai. Jilbab adalah soal perilaku. Pakaian takwa ini tak hanya melahirkan kesalehan individual tapi juga kesalehan sosial,” tegas Nur Rofiah.

Selanjutnya, Nur Rofiah menjelaskan sejarah jilbab yang terkait erat dengan sejarah busana Jazirah Arabia. Jilbab dalam syariat Islam, menurut Nur Rofiah, tak lepas dari sejarah perbudakan panjang. Terutama sejarah perang yang menghasilkan budak-budak perempuan. Lantas muncul satu tradisi untuk membedakan perempuan budak dan perempuan merdeka. 

“Di depan publik, para perempuan budak, gundik, dan pekerja seks tidak boleh menutup kepala atau berjilbab. Yang boleh berjilbab, hanyalah perempuan merdeka,” ujarnya. 

Saat itu, ia menambahkan, perempuan dalam posisi yang lemah. Bahkan untuk mengambil sesuatu dari rumahnya sendiri, ia bisa kena hukuman potong tangan. Dan dalam tradisi Arab dulu, anak perempuan dikubur hidup-hidup. Bahkan perempuan dijadikan jaminan utang, dihadiahkan, atau diwariskan.

“Jadi kalau suaminya meninggal, si perempuan akan diwariskan. Dan si ahli waris bisa mengawini perempuan tersebut. Tak heran jika terjadi kasus di mana ayah mengawini anak kandung atau sebaliknya. Hal ini biasa terjadi di masa itu,” ungkap Nur Rofiah.

Pakar tafsir alumnus Universitas Ankara, Turki ini mengatakan, pada masa turunnya Al Quran, perbudakan masih terjadi. Sehingga diketahui bahwa ayat tentang jilbab terkait dengan suatu peristiwa di mana istri Rasulullah keluar rumah untuk buang hajat, dan menjadi korban pelecehan. 

“Karena apa? Karena tidak menutup kepalanya sehingga disangka perempuan budak. Sebab waktu itu, perempuan budak boleh dilecehkan,” kata Nur Rofiah. 

Bagikan Artikel: