Kembali

Menjaga Kebinekaan dari Desa

Ditulis : Admin

Sabtu, 9 Februari 2019

Jakarta - Pembangunan ekonomi dan pemberdayaan perempuan dipercaya memegang peranan penting dalam menangkal intoleransi dan radikalisme. Program Desa/Kelurahan Damai diharapkan dapat menjaga masyarakat dari bahaya-bahaya yang dapat memecah persaudaraan dan kebangsaan.

Yenny Wahid, salah satu pendiri Wahid Foundation yang juga putri dari Presiden keempat Abdurrahman Wahid mengatakan, gejela intoleransi dan radikalisme sudah menjalar hingga ke pelosok desa di Indonesia. Keberadaan media sosial menjadi salah satu kontributor mewabahnya intoleransi melalui hoaks dan fitnah.

Namun menurut dia, desa-desa di Indonesia juga memiliki ‘penawar’ untuk permasalahan ini yakni kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai gotong-royong dan persaudaraan di tengah keragaman.

“Desa juga menyediakan atas persoalan intoleransi dan radikalisme yakni kearifan lokal. Dengan berbagai kearifan lokal, banyak kekuatan untuk menangkal menyebarnya intoleransi dan radikalisme ke seluruh penjuru tanah air,” kata Yenny dalam peluncuran Buku Panduan Pelaksanaan 9 Indikator Desa/Kelurahan Damai, Jumat (8/2/2019) di Jakarta.

Menurut Yenny, pembangunan ekonomi desa dan pemberdayaan perempuan menjadi kunci dalam menangkal intoleransi dan radikalisme. Untuk itu, dalam program Desa/Kelurahan Damai tersebut, dua aspek tersebut mendapat perhatian utama.

Yenny mengatakan, program Desa/Kelurahan Damai meliputi dua hal, pertama, pemberikan askes permodalan dan pelatihan wirausaha melalui pembinaan perempuan. Yang kedua adalah pelatihan bagi masyarakat desa untuk melihat potensi konflik yang bersumber pada intoleransi. “Kami juga memberikan pelatihan bagi masyarakat desa untuk mendeteksi dini dalam melihat potensi konflik yang muncul,” kata Yenny.

Yenny mengatakan, program Desa/Kelurahan Damai memiliki sembilan indikator, antara lain penddikan dan perdamaian dan kesetaraan gender, praktik nilai-nilai persaudaraan dan toleransi, serta adanya pranata bersama yang dapat memantau pelaksanaan desa/kelurahan damai. Sebagai contoh, bentuk perwujudannya adalah pembentukan sebuah kelompok kerja (pokja) pemantau pelaksanaan desa/kelurahan damai di tingkat desa yang keanggotaannya paling sedikit 30 persen beranggotakan perempuan.

Pilot project Desa/Kelurahan Damai ini sudah berlangsung selama dua tahun terakhir diterapkan di sembilan desa dan kelurahan yang tersebar di tiga provinsi; Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sembilan desa tersebut antara lain Desa Nglinggi dan Desa Gemblegan, Klaten, Jawa Tengah; Desa Guluk-Guluk, dan Desa Prancak, Sumenep, Jawa Timur.

Program ini merupakan inisiatif Wahid Foundation yang didukung oleh UN Women. Yenny mengatakan, UN Women telah memberikan dana sebanyak 1 juta dolar AS untuk program tersebut. Dana ini digunakan untuk penelitian, pelatihan, hingga bantuan permodalan bagi desa-desa. “Kami mencoba memberikan pemahaman ke masyarakat bahwa kerukunan beragama dan toleransi merupakan prasayarat penting bagi majunya suatu desa,” kata Yenny.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia Eko Putro Sandjojo. Eko mengatakan, kesenjangan sosial dan ekonomi dapat menjadi penyebab retaknya suatu negara. Untuk itu, pembangunan ekonomi di desa, khususnya yang masih tertinggal menjadi sangat dibutuhkan.

“Pertumbuhan ekonomi yang baik tanpa dibarengi penurunan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan itu akan menjadi fuelyang sangat powerful untuk gejolak sosial. Pertumbuhan ekonomi tidak akan berkesinambungan,” kata Eko.

Anggota Komnas Perempuan Riri Khariroh mengatakan, pemberdayaan perempuan desa dalam kaitannya dengan menangkal intoleransi dan radikalisme sudah tepat. Ia mengatakan, perempuan desa berada pada posisi yang rentan, sebab mereka tidak memiliki akses yang baik terhadap kesehatan dan sumber-sumber ekonomi.

Kondisi ini membuat banyak perempuan desa yang termarjinalkan secara ekonomi memilih untuk menjadi buruh migran. Riri mengatakan, berdasarkan penelitian Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang berjudul “Mothers to Bombers” tahun 2017, buruh migran perempuan, berada dalam posisi yang rentan untuk direkrut oleh kelompok ekstrimis.

Untuk itu, menurut Riri, meningkatkan harkat perempuan harus dimulai dengan membuka akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan, memberantas kemiskinan, serta mencegah terjadinya kekerasan.

“Untuk menciptakan kedamaian, sejumlah permasalahan di rumah itu harus diatasi dahulu. Kemudian dari situ, perempuan akan berdaya dan akan bergerak untuk menjaga nilai toleransi, perdamaian dan kohesivitas sosial,” kata Riri.

Survei Nasional yang dilakukan oleh Wahid Foundation bersama Lembaga Survei Indonesia pada 2016 menyimpulkan bahwa hampir setengah (49 persen) responden tidak toleran terhadap kelompok yang berbeda dengan mereka, baik secara suku, adat, etnis, ras, maupun organisasi keagamaan, dan sebanyak 34 persen tidak toleran terhadap kelompok agama yang berbeda.

Berdasarkan Survei Nasional tentang Sikap Keberagaman di Sekolah dan Universitas di Indonesia yang dilakukan oleh UIN Syarif Hidayatullah pada 2017 menunjukkan bahwa 43,88 persen memiliki sikap intoleran dan bahkan 6,56 persen radikal. Di kalangan guru atau dosen, sebanyak 27,08 persen bersikap intoleran dan bahkan 56,78 radikal.

Menurut Komnas HAM, laporan kasus intoleransi dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat: 74 kasus pada 2014, 87 pada 2015, dan 100 pada 2016.

Direktur Kerja Sama Regional dan Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto mengapresiasi insiatif Desa Damai tersebut. Ia menilai, dalam memberantas radikalisme dan intoleransi harus secara bottom-up, atau, dari masyarakat. Untuk itu, ia berharap, skema Desa Damai ini dapat disebarluaskan ke seluruh desa-desa lain di Indonesia.

“Kalau bisa, ini dibagikan ke desa-desa lain sebagai benchmark untuk dilanjutkan di seluruh Indonesia. Sehingga nilai-nilai masyarakat bisa berkembang dan hidup berdampingan dalam toleransi dan damai,” kata Andhika.

Sumber: 
https://kompas.id/baca/utama/2019/02/08/menjaga-kebinekaan-dari-desa/

Bagikan Artikel: