Kembali

Jilbab dan Tubuh Perempuan

Ditulis : Admin

Senin, 12 Februari 2018

Jakarta – Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid menjadi pembicara dalam talk show tentang jilbab di Festival Toleransi Rakyat (Peace Festival 2018) di Piazza, Gandaria City Mall, Jakarta, Sabtu, 10 Februari 2018.

Menurut Yenny, jilbab dan tubuh perempuan yang tak ubahnya sebuah simbol yang dimaknai berbeda oleh macam-macam kelompok. Di satu sisi, ada pihak—terutama orang-orang Barat—yang melihat perempuan berjilbab sebagai sosok yang tertekan. 

Mereka memandang Muslimah berhijab sebagai korban paksaan kondisi. Penilaian ini muncul setelah mereka melihat kondisi perempuan di negara-negara Arab, terutama di Arab Saudi.

Di Saudi, sebagian besar perempuannya hanya beraktivitas di dalam rumah atau hanya melakukan kerja-kerja domestik. Mereka dilarang keluar rumah dan tak diperkenankan aktif di luar rumah. 

“Beda dengan perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia bahkan beraktivitas sejak pukul 03.00 dini hari. Jualan sayur ke pasar, tak masalah. Sementara di Saudi tak seperti itu,” beber Yenny.

Ia menambahkan, Dunia Barat mungkin melihat perempuan berjilbab sebagai masyarakat yang tertindas (oppressed society). Apalagi sebagian orang Barat menganggap Islam sebagai agama radikal. 

“Katanya teroris rata-rata orang Islam. Akhirnya diskriminasi bertambah. Jika ada perempuan berjilbab, mereka akan didiskriminasi bahkan diintimidasi secara fisik,” ujarnya.

Yenny menuturkan, di Amerika pernah terjadi kasus di mana seorang Muslimah berjilbab mau melamar kerja di sebuah toko busana. Si Muslimah tidak diperbolehkan bekerja karena ia mengenakan jilbab. Tidak terima dengan penolakan toko busana tersebut, si Muslimah menggugat ke pengadilan. Sebab, konstitusi Amerika menjamin setiap warganya tidak boleh didiskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaannya. 

Para pengacara yang membela Muslimah itu adalah orang-orang non-Muslim. Hasilnya, ketika proses hukum berjalan, si Muslimah pun menang. Si hakim melihat Muslimah itu mengalami diskriminasi karena memakai jilbab. Perusahaan dilarang melakukan diskriminasi semacam itu. Si Muslimah akhirnya mendapat kompensasi sebesar 20 ribu dolar AS. 

Di Swedia juga pernah terjadi peristiwa yang melibatkan Muslimah berjilbab, ketika masyarakat di sana kritis terhadap Islam. Mereka bahkan menganggap Muslim sebagai teroris. Ada perempuan berjilbab pulang kantor diserang oleh segerombolan orang yang anti Islam. Si perempuan diteriaki dengan kata-kata yang melecehkan, dan diancam akan diusir dari Swedia. 

Akhirnya, Muslimah ini bercerita kepada teman-temannya, dan mendapatkan pembelaannya. Mereka demonstrasi turun ke jalan. 

“Cara membelanya cukup unik. Mereka mengenakan jilbab, padahal bukan Muslim. Mereka turun ke jalan hanya untuk menunjukkan bahwa si Muslimah berhak mengenakan pakaian sesuai dengan keyakinannya,” kata Yenny.  

Saking semangatnya membela, kaum pria juga mengenakan jilbab, padahal mereka berjenggot. Dari sini, menurut Yenny, jilbab dijadikan sebuah simbol. Jilbab adalah urusan pribadi si pemakainya. “Mau pakai silakan, jika tak mau ya tak boleh dipaksa.” 

Ia juga mengkritisi keadaan yang seolah-olah membuat perempuan tak punya otonomi atau hak untuk menentukan pilihan busana. Seolah-olah orang lain yang boleh menentukan. Kondisi ini  membuat perempuan merasa lebih tertekan daripada senang dalam memakai jilbab. 

Bahkan, kata Yenny, ada yang bilang cara berkerudung seperti saya ini bisa bikin saya masuk neraka. Padahal saya meniru cara berjilbab nenek saya yang saya yakin bahwa beliau itu perempuan mulia dan calon penghuni sorga. "Saya berjilbab seperti ini untuk mempertahankan hak nenek–nenek saya untuk masuk sorga," ujar Yenny di depan peserta talkshow.

Bagikan Artikel: