Kembali

Islam Mendiskriminasi Perempuan?

Ditulis : Admin

Senin, 12 Februari 2018

Jakarta – Festival Toleransi Rakyat (Peace Festival 2018) yang digagas Wahid Foundation di La Piazza, Gandaria City, Jakarta juga menggelar coaching clinic dengan tema ‘Peaceful Islam for Busy People’.

Festival hasil kolaborasi Wahid Foundation dengan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi serta UN Women ini berlangsung selama tiga hari, pada 9-11 Februari 2018.

Narasumber dalam coaching clinic ini antara lain Ketua Dewan Pendidikan Pondok Pesantren Fauzan (Tasikmalaya) Dr Fauz Noor, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU DKI Jakarta Ustadz Mukti Ali, Pengurus Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU Maria Ulfah, dan Pimpinan Pondok Pesantren Qothrotul Falah (Lebak) KH Nurul Huda Ma’arif.

Panitia menyediakan stand khusus bagi pengunjung yang ingin konsultasi soal keislaman, di samping kiri panggung utama. Mereka dapat bertanya langsung maupun berdiskusi dengan para narasumber.

Siang itu, di stan coaching clinic tampak beberapa mahasiswa tengah berkonsultasi dengan Maria Ulfa. Mereka adalah Susan Meiyora (alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, M Yasin (mahasiswa Universitas Indonesia, Dian F (Indonesia Mengajar), dan Freska (mahasiswa). Coaching clinic hari itu membahas soal gender (kedudukan perempuan) dalam perspektif Islam.

Maria tampak serius mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Misalnya, saat Dian menanyakan apakah Islam agama "patriarki" (menganggap laki-laki lebih superior atas perempuan)? Menurut Ulfah, Islam tidak patriarkis walau ada teks-teks yang menunjukkan itu. “Sesungguhnya yang patriarki bukan Islamnya, tapi budaya di hampir semua agama dan masyarakatlah yang patriarki,” jelasnya.

“Apakah memang ada ayat yang mengatakan bahwa imam shalat itu harus selalu laki-laki?” tanya Susan.

“Ada suatu saat di mana Rasulullah membiarkan perempuan menjadi imam. Ummu Waraqah pernah menjadi imam di zaman Rasulullah. Tapi karena budaya saat itu dan saat ini laki-laki adalah pemimpin, maka peran laki-laki sebagai imam menjadi suatu kebiasaan,” jawab Ulfah.

Terkait dengan ayat atau hadits yang tampak menyudutkan perempuan, ada yang harus dilihat dengan menggunakan pendekatan mubadalah, yaitu bisa dilihat dari dua sisi. Artinya, hadist tersebut berlaku juga untuk laki-laki, tidak hanya untuk perempuan. Misalkan ada ayat yang mengatakan bahwa istri yang membangkang pada suami harus dipukul.

Padahal, kata Ulfah, ada tahapan-tahapan sebelum itu. Jika istri membangkang, maka yang pertama dilakukan adalah diberi nasihat. Kedua, dipisahkan tempat tidurnya tapi masih dalam satu rumah. Ketiga, dipukul. Inilah yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang memahami ayat secara tekstual, tidak konstekstual.

Ayat ini, Ulfah menjelaskan, bertentangan dengan ayat universal. Seperti ayat yang mengatakan bahwa suami harus berbuat makruf atau berbuat baik pada istri. Bahkan ada ayat yang mengatakan bahwa seburuk-buruk suami adalah yang memukul istrinya.

“Bagaimana tentang Islam liberal?” timpal Freska.

Ulfah mengatakan, dalam Islam tidak ada istilah liberal atau non-liberal. Yang ada adalah perbedaan mazhab. Terserah umat Islam untuk memilih salah satu dari keempat mazhab, baik Syafi’i, Hanbali, Maliki, atau Hanafi.

Topik konsultasi lainnya adalah tentang Jilbab. “Apa dasar kewajiban jilbab?” tanya Dian lagi.

“Kewajibannya bukan memakai jilbab tapi menutup aurat,” kata Ulfah. “Awalnya perintah menutup aurat hanya berlaku untuk keluarga Nabi, untuk membedakan antara yang keluarga dan bukan. Tapi ketika shalat, memang ada perintah untuk menutup semua anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ulfah mengingatkan bahwa budaya orang Islam tidak semua nya ajaran Islam, bahwa ada yang tampaknya seperti ajaran Islam tapi sebenarnya adalah bagian dari budaya.”

Peserta coaching clinic tampak puas dengan penjelasan Ulfah. Setelah merasa cukup mendapatkan ‘pencerahan’, mereka lantas beranjak dari stan coaching clinic untuk mengikuti kegiatan festival lainnya.

Bagikan Artikel: