Kembali

Ekstremisme Kekerasan Memang Rumit

Ditulis : Admin

Selasa, 18 Desember 2018

Faktor-faktor pendongkrak ekstremisme amatlah beragam. Di buku panduan Workshop ini, panitia mencatat setidaknya terdapat 19 faktor. Dari ketidakadilan politik hingga perasaan kurangnya makna hidup. Dari diskriminasi hingga marginalisasi.

Alamsyah M Dja’far

Gerak-gerik Matteo Vergani ketika bicara di depan forum lebih ekspresif dibanding orang India yang pernah saya lihat. Jika orang India sering menggeleng-gelengkan kepala seperti adegan senam kesehatan jasmani sesi menggelengkan kepala, lelaki jangkung itu justru lebih banyak menggerakan tangan. Kadang-kadang badan. Saya suka sekali dengan gaya kedua tangannya saat ke samping lalu mendorong dada. Biasanya berarti bahwa ia tak tahu pasti.

Aksen Inggris Matteo mengalun. Tak seperti orang Inggris, Amerika, atau Australia. Saya tak tahu pasti di kampung atau kota apa Matteo lahir. Saya hanya tahu lelaki berewokan ini kelahiran Italia dan sekarang menjadi peneliti di Universitas Deakin Australia. Ia menggondol dua gelar doktor. Satu dari Unversitas Monash Australia, satu lagi dari Universitas Katolik di Milan, Italia.

Selama tiga hari, Selasa-Kamis (11-13 Desember 2018), bersama Greg Barton, dosen senior Universitas Deakin, Matteo menjadi fasilitator Workshop Peningkatan Kapasitas Evaluasi Program-program Intervensi Pencegahan Ekstremisme Kekerasan di Hotel Chatrium Bangkok. Kegiatan ini digelar Southeast Asian Network of Civil Society Organisations Working Together Against Violent Extremism (SEAN-CSO), sebuah jaringan organisasi masyarakat sipil di Asia Tenggara. Saya termasuk salah seorang peserta dalam perhelatan ini bersama enam orang lain dari berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia. Peserta lain datang dari perwakilan OMS di Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Sepanjang saya mengenalnya sejak dua tahun belakangan, Matteo tipe orang yang setia pada data. Teliti seperti teller bank. Ia ahli statistik, pelajaran yang selalu saya ingin hindari. Saat kami akan merilis laporan potensi intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan muslim pada akhir Januari 2018, ia membantu dan memeloloti data-data mentah. Pertanyaan-pertanyaan tajam. “Membaca data-data riset kuantitatif memang tak mudah. Sulit,” katanya. “Bagi NGO-NGO yang tidak fokus pada pendekatan ini, langkah strategis bekerjasama dengan lembaga lain,” ia memberi saran. “Ingat juga, baik kualitatif dan kuantitatif selalu punya kelemahan.”

Tahun ini bersama tim di Universitas Deakin, Matteo merampungkan riset kuantitatif pemetaan OMS yang bergerak di isu pencegahan ekstremisme kekerasan di empat negara di Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Total enam puluh perwakilan OMS yang berhasil diwawancarai. Hasilnya, mayoritas organisasi-organisasi di empat negara itu ternyata bekerja pada kategori intervensi primer. Sebanyak 44 organisasi. Sebuah organisasi untuk intervensi sekunder. Tiga untuk tersier. Sedang 12 tidak tahu atau hilang. Dari hasil riset ini juga didapati sejumput hikmah. Salah satunya adalah bagaimana melakukan evaluasi secara realistis mengenai efektivitas program-program pencegahan ekstremisme kekerasan.

Intervensi primer dimaksudkan jenis inisiatif-inisiatif atau usaha-usaha yang menyasar masyarakat umum dan bertujuan memperkuat kohesi sosial dan daya tahan mereka untuk mengurangi faktor-faktor peningkatan risiko ekstremisme kekerasan. Misalnya kampanye penguatan kohesi sosial dan perdamaian. Sedang intervensi sekunder ditujukan terutama kepada mereka yang sangat berisiko terlibat dalam kekerasan politik atau tengah direkrut dalam kelompok ekstremis atau teroris. Sementara intervensi tersier langsung menyasar kepada orang atau kelompok yang sudah melakukan aksi ekstremisme kekerasan. Pendekatan terakhir ini bisa dalam rehabalitasi atau deradikalisasi.

Matteo termasuk orang yang tak terlalu percaya begitu saja jika perilaku online dan offline nyambung. Malah seringkali tidak. Maksudnya, orang menjadi ekstrem tidak selalu karena pengaruh media online, tapi seringkali telah mengalami radikalisasi sebelumnya dan karena faktor-faktor lain.

Dari naga-naganya, Mas Ahmad Mundjid juga berpikir begitu. Dosen Universitas Gadjah Mada ini lalu menyorongkan satu nama: Bruno Latour. “Orang ini sekarang sedang naik daun namanya. Filosof populer setelah Karl Marx,” kata alumnus Temple University, Amerika Serikat itu meyakinkan. Mendengar itu saya tercengang, lalu saya catat nama itu baik-baik. Mas Muhammad Wildan, dosen Universitas Islam Negeri Sunana Kalijaga, Yogyakarta, saya lihat manggut-manggut. Sembari rehat workshop, kami bertiga memang diskusi ringan dalam ruangan Rabu siang.

Selain sebagai filosof, kakek-kakek asal Prancis ini juga juga seorang antropolog dan sosiolog. Ia punya mutiara pemikiran yang disebut Mas Munjid tadi: actor-network theory. “Kalau mau mengurangi ekstermisme kekerasan seperti teroris yang harus dilakukan mengacak-acak jaringan mereka dan membuat jaringan baru. Jika jaringan tetap ada, mereka bisa terus tumbuh,” kata Mas Munjid meringkas gagasan filosof yang menurut saya pasti rumit itu. Bukankah pikiran filosof biasanya rumit?

“Tapi, tidak sedikit orang mengalami radikalisasi lewat online? Dian, misalnya,” tanya Mas Wildan sembari memandang wajah Mas Munjid yang tampak berpikir. Saya lalu memandangi wajah Mas Wildan sembari berpikir. “Tidakkah Dian sudah mengalami radikalisasi sebelumnya?” tanya saya dengan maksud ikut berpartisipasi aktif dalam diskusi. Hingga waktu jeda berakhir belum ada kesimpulan bersama. Dian yang dimaksud itu tak lain, pelaku bom panci: Dian Yulia Novi. Perempuan ini diduga menjadi ekstrem sejak menjadi TKI di luar negeri.

Apa hikmah yang bisa Saudara petik dari perdebatan kami bertiga? Kurang lebih ini. Faktor-faktor pendongkrak ekstremisme amatlah beragam. Di buku panduan Workshop ini, panitia mencatat setidaknya terdapat 19 faktor. Dari ketidakadilan politik hingga perasaan kurangnya makna hidup. Dari diskriminasi hingga marginalisasi.

Contoh lainnya, Matteo juga orang yang tak terlalu percaya jika ujaran kebencian langsung memicu aksi radikalisme. Sayangnya saja saya belum mendapat penjelasan lebih dalam soal itu. Saya membaca cepat sebuah artikel yang ditulisnya pada 2016 mengenai efek ancaman terorisme di negaranya: When Catcholic turn right: effect of the Islamic terrorism threat on the fragmented catcholic Italian voter.  

Meningkatnya ancaman itu memang terbukti bikin orang Katolik Italia yang menjadi responden berbelok kanan alias bersikap konservatif. Ancaman terorisme Islam itu, katanya dalam tulisan, bikin pemimpin-pemimpin kelompok tengah-kanan di Italia mempromosikan permusuhan terhadap muslim. Tapi tak ditentukan data jika peningkatan permusuhan menyebabkan meningkatnya aksi radikalisme.

Tulisan yang dibuat secara berjemaah oleh Mark Peffley, Marc L. Hutchison dan Michale Shamir yang saya baca juga menarik. Bertajuk “As terror attacks increase, intolerance increases — but mainly on the right,” tulisan ini menyuguhkan data jika mereka yang makin intoleran karena ancaman terorisme Islam ternyata umumnya bukan umumnya kelompok toleran. Tapi, mereka yang memang berasal dari kelompok kanan yang punya sentimen negatif dengan Islam. Studi kasus yang ketiga orang ini lihat kasus Israel. “Consistently, across the 30 years of our study, the erosion of tolerance precipitated by terrorism occurred mainly among Jews who identify with the right, not the left or the center. When terrorist attacks increased, right-wingers were much less willing to allow political groups they don’t like to give a speech or demonstrate,” kata mereka dalam tulisan yang dipublikasi vox.com, 23 September 2016. Rumit bukan?.

Bagikan Artikel: