Kembali
Diskusikan Hasil Penelitian Gender dan Ekstremisme Kekerasan: Transmisi Ektremisme Terhadap Perempuan Bermula dari Proses Ketidakpuasan Perempuan atas Kondisi Kehidupan
Ditulis : Admin
Jumat, 25 November 2022
Wahid Foundation kembali menyelenggarakan serial diskusi pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan di Indonesia pada Selasa, (23/11) di Yello Hotel Manggarai, Jakarta. Tema diskusi kali ini berkaitan dengan Gender dan Ekstremisme Kekerasan, khususnya pada aspek transmisi nilai-nilai radikal pada perempuan.
Hasil riset peneliti Badan Riset dan Inovasi Republik Indonesia (BRIN), Anik Farida berjudul “Gender dan Ekstremisme Keagamaan: Studi tentang Transmisi Nilai-nilai Radikal Pada Perempuan Teroris/Napiter” menjadi bahan pengantar yang didiskusikan dalam serial diskusi kali ini. Sebagai penanggap, Solahudin, seorang pakar dan pengajar terorisme menjadi penanggap sekaligus memberikan pandangan tentang pendekatan gender dalam isu ekstremisme kekerasan selama ini.
Mujtaba Hamdi, Direktur Eksekutif Wahid Foundation menyampaikan, ada temuan menarik dari hasil riset Anik Farida dari sisi teori dan praktik yang berbeda dari teori dan praktik temuan-temuan riset sebelumnya.
Oleh karenanya, menurut Mujtaba, sangat perlu mendiskusikan hasil riset tersebut untuk refleksi bersama bagaimana para peneliti dan CSO selama ini melakukan riset dan menentukan rekomendasi praktik yang relevan dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme.
“Saya melihat dua hal penting atau pokok dari diskusi ini. Yang pertama adalah dari sisi teoritisnya.
Saya rasa, temuan Bu Anik ini juga menggugat beberapa teori atau pendekatan yang biasanya masih sering dipakai oleh temuan-temuan sebelumnya, khususnya dalam konteks keagensian barat yang melihat pelaku terorisme perempuan sebagai bagian dari dominasi dunia patriarkis; dia (pelaku teror perempuan) itu ikut suaminya atau ikut mentor laki-lakinya. Nah, sudut pandang tersebut ternyata banyak kelirunya,” Ungkap Mujtaba saat memberikan sambutan.
Kemudian, kata Mujtaba, “dari sisi praktikal, kepentingan praktis tentu saja menjadi bagian dari refleksi kita semua bagi masyarakat sipil atau di pemerintahan. Kira-kira apa yang bisa kita rekomendasikan secara lebih baik. Bagi masyarakat sipil juga intervensi kita yang lebih optimal seperti apa atau bisa jadi beberapa asumsi kita yang kita gunakan untuk intervensi ini sudah tidak valid lagi jangan-jangan.” Tandasnya.
Diantara hasil temuan Anik farida adalah bagaimana proses transmisi ektremisme terhadap perempuan bermula dari proses ketidakpuasan mereka atas kondisi kehidupan lalu mencari solusinya dalam halaqah-halaqah keagamaan, di samping mereka mengalami situasi krisis dalam hidupnya, lalu mengikuti kajian-kajian dari berbagai organisasi ektremis sampai menemukan jati diri mereka untuk melakukan amaliyah sebagai kewajiban. Contohnya di ISIS (Islamic State of Iraq and the Syria). Pun perempuan merasakan ketidakpuasan Ketika menyaksikan laki-laki di ISIS justru disibukkan mencari pasangan. Sehingga membuat perempuan semakin termotivasi untuk melakukan amaliyah jihad secara mandiri dengan alasan bahwa melakukan amaliyah adalah kewajiban yang bersifat individual.
Dari hasil temuan tersebut, Anik Farida seakan menggugat teori yang mengatakan bahwa transmisi ektremisme terhadap perempuan selalu berasal dari pasangan atau suami dan keluarga yang mengindikasikan perempuan sebagai aktor sekunder.
Sementara itu, narasumber kedua, Solahudin menyatakan bahwa faktor keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme, banyak melibatkan faktor ideologis di mana menurut mereka ada yang namanya jihad ofensif atau aktif sekaligus untuk memprovokasi laki-laki melakukan hal yang sama. Namun, kata Solahudin, fenomena tersebut hanya terjadi di ISIS. Kedua, masih menurut Solahudin, faktor lainnya adalah sebagai strategi media. Sebab, jika yang melakukan amaliyah teror adalah laki-laki maka efeknya akan biasa saja. Berbeda Ketika perempuan melakukannya, maka efeknya akan sangat luar biasa.
Solahudin juga menegaskan, bahwa aksi perempuan dalam aksi teror adalah bukti semakin otonomnya peran perempuan dalam aksi terorisme.
“Semakin aktifnya perempuan itu seperti mengoreksi stereotype bahwa perempuan dalam terorisme hanya sekedar korban dari radikalisasi laki-laki. Termasuk juga mengoreksi stereotype yang mengatakan bahwa perempuan selalu posisinya di bawah laki-laki dalam kelompok radikal.” Ungkap Solahudin.
Diskusi ini kemudian melahirkan beberapa rekomendasi dan saran baik narasumber maupun para peserta salah satunya adalah upaya meningkatkan fasilitas dan kebutuhan napiter yang sensitif gender, khususnya kebutuhan napiter perempuan. Selain itu, maksimalisasi partnership dengan pemerintah juga merupakan hal yang perlu ditingkatkan di masa yang akan datang.
Bagikan Artikel: