Kembali

Diskusi Buku: Peran Gus Dur Memulihkan Martabat Aceh dan Papua

Ditulis : Admin

Selasa, 29 Januari 2019

Jakarta- Wahid Foundation mengadakan diskusi dan bedah buku “Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka” karya Ahmad Suaedy (23/01), di Aula Griya Gus Dur, Jl. Taman Amir Hamzah No.8, Pegangsaan. Diskusi yang semula direncanakan untuk menyambut Haul Gus Dur ke-9 pada Desember 2018 lalu ini dihadiri sekitar 70 peserta dari berbagai kalangan baik peneliti, politisi, aktivis, CSO, hingga penganut aliran kepercayaan. Diskusi juga menghadirkan Manuel Kaisiepo, mantan menteri kabinet Gus Dur, dan Riwanto Tirto Sudarmo, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai pembahas.

Dimoderatori Mujtaba Hamdi, Direktur Wahid Foundation, diskusi berlangsung hangat dan gayeng. Hampir semua peserta bertahan hingga diskusi berakhir. Menurut Nishal, salah satu peserta diskusi, pembahasan diskusi Gus Dur kali ini sangat relevan untuk dipelajari kembali mengingat kondisi bangsa yang kian butuh perhatian.

Memang, walaupun sarat akan bahasan sejarah, buku Ahmad Suaedy menjadi relevan karena hendak mengajukan temuan bagaimana Gus Dur menyadari bahwa mengerasnya tuntutan merdeka dari Papua dan Aceh salah satunya dipengaruhi pendekatan Pemimpin bangsa yang kurang tepat sehingga, Gus Dur tidak hanya memulai pendekatan ulang dari nol, namun jauh ke titik negatif dalam upaya menyelesaikan konflik kedua wilayah. Pandangan Suaedy juga ditopang Manuel Kaisiepo. Baginya, selain peran rekonsiliasi konflik, Gus Dur juga berperan penting dalam pemulihan martabat dan mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua.

Berbeda dengan Manuel, pembacaan Riwanto sedikit lebih teoritik. Riwanto menekankan bahwa konflik Aceh dan Papua pada intinya didasari oleh adanya krisis kewarganegaraan yang diistilahkannya sebagai krisis “state centric” – yang dipaksakan dari atas oleh Negara (state) kepada warganegara. Riwanto melihat bahwa pendekatan Gus Dur, sebagaimana disuguhkan Suaedy, merupakan kebalikan total dari pendekatan militeristik a la Orde Baru yang mengabaikan kesetaraan dan penghormatan pada aspek-aspek sosial kultural dari masyarakat Aceh dan Papua.

Sahut-menyahut pandangan atas karya ini berlangsung menarik. Walaupun demikian kekurangan-kekurangan dalam buku juga diajukan sebagai bagian dari kritik akademik. Konsepsi Islam Nusantara, juga Kewarganegaraan Bineka, sebagaimana ungkap Riwanto nampaknya masih perlu mendapatkan pemantapan metodologis lebih jauh. Seperti misalnya, apakah kedua istilah ini, walaupun cukup populer secara politis, cukup “rigorous” untuk dimajukan sebagai sebuah konsep dalam ilmu-ilmu sosial, sebagaimana diakui sendiri oleh Suaedy dalam bukunya (hal. 449). Tentu perlu dilakukan kajian-kajian lanjutan untuk meneruskan kajian rintisan ini guna memperkaya khazanah ilmu sosial ke depan, khususnya yang berkaitan dengan kajian keagamaan dan kebangsaan. Oleh Libasut Taqwa 

Bagikan Artikel: