Kembali
Di Klenteng Sam Poo Kong, Peserta Didik SMAN 10 Semarang Belajar Makna Toleransi
Ditulis : Admin
Rabu, 29 Mei 2019
Jakarta - Siang itu, Selasa (30 April 2019) teriakan Taufiqi cukup lantang terdengar. Dia memberikan pertanda agar riuh kerumunan regu mengindahkannya. Dia memberi aba-aba, memandu teman-teman sejawatnya untuk berkumpul dengan regunya masing-masing. “Jangan sampai ada yang terpisah, kita jaga ketertiban bersama di rumah ibadah ini,” pungkas Taufiqi.
Tentu dia tidak sendirian dalam misi mengawal kelompok siswa tersebut. Remaja yang memiliki nama lengkap Muhammad Taufiqi Nugroho, Ketua Rohaniawan Islam (Rohis) SMAN 10 Semarang ini bersama dengan para guru dan pengurus Rohis SMAN 10 lainnya mengarahkan sekitar 320 siswa-siswi kelas sepuluh (X) secara tertib memasuki wilayah Klenteng Sam Poo Kong.
Seluruh rombongan ditemani oleh beberapa pemandu wisata diajak mengelilingi bangunan Klenteng Sam Poo Kong nan megah. Menurut cerita, Klenteng yang juga dijuluki gedung batu ini adalah peninggalan dari Laksamana Cheng Ho, muslim Tionghoa bergelar Haji Mahmud Shams. Akibat sakit yang diderita awak kapal bernama Wang Jinghong atau Kiai Juru Mudi Dampo Awang, membuat empati Laksamana Cheng Ho untuk tinggal lebih lama di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Sebagai perwujudan rasa kepedulian terhadap awak kapalnya, laksamana Zheng He atau Cheng Ho kemudian membangun beragam bangunan bernuansa arsitektur khas China, mulai dari goa batu hingga tempat beribadah untuk berbagai keyakinan.
“Saya jadi lebih paham tentang kebudayaan, kebiasaan, serta hal-hal yang menjadi ritus beribadah umat non-muslim khususnya teman-teman Budha dan Konghucu,” terang Taufiqi saat ditemui oleh Wahid.
Sama halnya dengan Taufiqi, Za’imah Sekar Sayekti salah satu peserta dalam rihlah tersebut mengaku bila banyak pelajaran dipetik dari kunjungan tersebut. Selain dapat melihat langsung sisi budaya ornamen bangunan Tionghoa, dirinya juga banyak belajar tentang prinsip-prinsip bertoleransi. “Saya baru tahu tentang kisah-kisah toleransi penuh kasih sayang antar sesama umat beragama, yang ternyata sudah sejak dulu ada bahkan sebelum Indonesia merdeka,” jelas Za’imah.
Pak Ahmad Fadhol, guru PAI SMAN 10 yang turut mendampingi kegiatan rihlah menyatakan bila kunjungan rumah ibadah tersebut merupakan bagian dari agenda rutin tahunan sekolah. Melibatkan seluruh elemen, baik guru maupun murid untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi di lingkungan sekolah. “Kita hanya ingin anak-anak mengenal keberagaman yang ada di Indonesia, tahu dan mengerti bahwa orang Indonesia tidak hanya orang muslim saja, tidak hanya satu suku saja,” tukas Pak Fadhol.
Perlu diketahui, kunjungan ke rumah ibadah ini merupakan rangkaian acara dari kegiatan pra ramadan SMAN 10 Semarang. Dimulai dari kunjungan ke Fatimah Azzahro untuk praktik manasik haji, paginya. Lalu diteruskan kunjungan ke klenteng, siang harinya.
Bagikan Artikel: