Kembali
Wahid Foundation Berbagi Pengalaman Riset di Forum CSO Asia Tenggara
Ditulis : Admin
Senin, 17 Desember 2018

“Kekeliruan dalam melihat dua gejala ini dapat berakibat kegagalan dalam menangani keduanya.”
Bangkok-Thailand. Bagi sebagian pihak, fenomena Gerakan 212 dipandang sinyal meningkatnya ancaman serius dari kelompok gerakan radikal. Pada 2016, gerakan ini dalam bentuk demonstrasi di Monumen Nasional Jakarta melibatkan jutaan orang. Seruan-seruan anti-Cina bahkan pembunuhan terhadap Basuki Thahaja Purnama, akrab disapa Ahok, dalam aksi juga muncul. Aksi ini kembali digelar awal Desember dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya.
“Tapi, terlalu sederhana untuk menyimpulkan ini ancaman serius bangkitnya kelompok radikal. Mereka datang dari kelompok yang beragam. Bukan hanya dari anggota dan pendukung FPI atau HTI, tapi ada juga orang-orang dari kalangan konservatif NU dan Muhammadiyah. Sebagian lagi para simpatisan partai,” ungkap Alamsyah M. Dja’far, Selasa (11/12) di Hotel Chatrium Bangkok, Thailand.
Pernyataan tersebut disampaikan Manajer Program Wahid Foundation ini pada Workshop Peningkatan Kapasitas yang digelar South East Asia Network to Counter Violent Extremism (SEAN-CSO) sepanjang Selasa-Kamis (11-13/12) dan dihadiri 30 peserta perwakilan organisasi masyarakat sipil di negara-negara di Asia Tenggara.
Karena itu, kata Alamsyah, usaha-usaha mengenali perbedaan, keragaman, termasuk, hubungan antara isu radikalisme dan intoleransi langkah penting. “Kekeliruan dalam melihat dua gejala ini dapat berakibat kegagalan dalam menangani keduanya,” tambahnya.
Dalam presentasi, Alamsyah membagi pengalaman bagaimana merumuskan dua konsep ini dan kemudian digunakan dalam Survei Nasional hasil kerjasama Wahid Foundation, Lembaga Survei Indonesia, dan UN Women pada 2017. “Secara sederhana yang membedakan antara intoleransi dan radikalisme adalah penggunaan kekerasan fisik. Intoleransi umumnya tak menggunakan kekerasan fisik,” terangnya.
Meski begitu, tambah Alam, merumuskan indikator radikalisme juga tidak mudah. Salah satu tantangannya adalah radikalisme juga tak selalu terkait dengan kekerasan fisik, tapi juga dukungan terhadap tindakan kekerasan bagi mereka yang belum melakukan aksi kekerasan. Karena itu, dalam survei WF menggunakan indikator bukan hanya penggunaan kekerasan, tetapi juga dukungan dan keinginan terlibat dalam aksi dan gerakan yang dapat menggunakan kekerasan.
Workshop ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas jaringan SEAN-CSO tentang logika program dan skil mengevaluasi program-program pencegahan dan konterekstremisme kekerasan. SEAN CSO dibentuk pada 2016 difasilitasi Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalization, pusat kajian di Universitas Deakin Australia. Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat yang mengikuti kegiatan ini datang dari Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Oleh Alamsyar M Dja'far
Program Manager Wahid Foundation
Bagikan Artikel: