
DAVIDA RUSTON KHUSEN
Tercengang saya membaca judul berita pagi itu, seolah tiada hentinya negeri ini berkelit dengan kekerasan. “Detik-Detik Terkuaknya Kasus SPG Dimutilasi dan Dibakar Suaminya”.
Saya membacanya dengan getir, “dimutilasi-dibakar” dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Kadang naluri kewarasan kita tak mampu mencerna kebengisan. Agaknya tak berlebihan bila ini dikatakan, perempuan banyak menjadi korban dalam beragam jenis kekerasan.
Fenomena ini terjadi karena pelbagai factor. Dia bisa saja mengandung hubungan kekuasaan dan kekuatan antara pelaku dan korbannya, bahwa laki-laki lebih kuasa, kuat, dan perempuan dipersepsikan sebagai sosok yang lemah, tertindas. Mirisnya, wajah kelam kekerasan terhadap perempuan, justru banyak ditemui di dalam keluarga, seperti kasus pembunuhan di Karawang tersebut.
Pembenaran perilaku ini, didasarkan pada Surah An-Nisa Ayat 34, “..Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Ayat ini sering disalah tafsirkan, menjadi dalil kekerasan terhadap istri. Padahal, menurut Imam Malik sebagaimana disebutkan dalam kitab Minhaj Ash-Shalihin karangan Izzudin Baliq, ada beberapa tahap yang harus dilampaui sebelum suami memukul Istri. Yakni dengan menasehati sang isteri lebih dulu. Bila tetap membangkang bisa ditempuh dengan pisah ranjang, dan yang paling akhir adalah memberikan ganjaran fisik (pemukulan).
Dharaba (pukulan) pada ayat ini, tidak semua ulama menyepakati bahwa kata ini bermakna pukulan fisik. Menurut pendapat Syahid Ayatullah Murtadla Muthahari, seorang ulama kenamaan Iran, arti kata dharaba tidak berarti memukul. Dia lebih mengarah pada pukulan psikis. Bisa saja dengan menunjukkan ekspresi tidak suka kepada istri, memalingkan wajah dari istri atau apapun yang bisa memberi pelajaran kepada istri. Pembolehan yang demikian ini, hanya untuk mengingatkan istri akan kewajibannya dan menunjukkan pengayoman pada keluarga bagi sang suami.
Dalam sebuah riwayat, Siti Aisyah menceritakan bagaimana rasul menghindari kekerasan dalam kesehariannya, “Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah” (HR. Ahmad 6: 229 Bukhari-Muslim).
Bukti-bukti di atas telah mengantarkan kita pada kesimpulan Islam tidak pernah sedikitpun mengajarkan kekerasan, terlebih kepada perempuan. Bukan maksud Tuhan menciptakan kita berpasang-pasangan, “menjadikan kalian satu diri lalu ia jadikan daripadanya jodohnya” (Q. S. An-Nisa: 1), hanya menunjukkan siapa yang paling berkuasa dan menyakiti satu dengan yang lainnya.
Justru sebaliknya, Islam mengisyaratkan kepada kita untuk berkasih sayang, mendukung antara lelaki dan perempuan, bila di antaramu sudah menjalin keluarga maka Rasulullah SAW, menjamin atasmu kebaikan dan keimanan yang paling baik. Sebagaimana sabdanya: “orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrinya”, (HR.Tirmidzi). Untuk itu tidak ada alasan pembenar dari setiap tindakan kekerasan dalam Islam.
Namun demikian, bukan berarti kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan—baik dalam keluarga dan masyarakat—begitu saja akan hilang. Mungkin saja, pemahaman yang salah akan terus terulang. Para pemeluk melihat diri paling suci dan paling lurus, sehingga tak jarang kekerasan dilakukan atas dasar keyakinan, pemahaman merekalah yang paling benar. Padahal mereka tidak tahu “Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 30). Atau, mereka sengaja memutarbalikkan pemahaman agama, untuk kepentingan diri mereka sendiri. Wallahu’alam hanya mereka yang tahu.
Apapun yang terjadi, perempuan tidak boleh tinggal diam. Menganggap pukulan, tendangan, penganiayaan yang menimpa sebagai takdir, ujian, dan wujud ketaatan kepada suami, adalah bentuk pemahaman yang salah. Perempuan masa kini harus terbuka, bahwa dirinya mempunyai hak untuk membela dan bersuara.
Ceritakanlah bentuk kekerasan yang dialami kepada orang yang terpercaya. Sekecil apapun kekerasan itu. Karena dari situlah kemungkinan pemecahan masalah, perlindungan hak, dan pembelaan di antara kamu, didapat. “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan.” (Q. S. An-Nisa: 35).
Semakin banyak perempuan muslim bersuara maka semakin sempit pula ruang kekerasan itu diperoleh. Sekaligus kita bisa mengoreksi penafsiran-penafsiran keliru atas kitab suci. Kita harus sadar bahwa agama dan konstitusi telah melindungi setiap hak hidup kita. Berangkat dari kesadaran akan kekerasan dalam keluarga, jangan beri ruang pada perbuatan tidak manusiawi terjadi pada lingkungan kita, terhadap siapapun; tetangga, anak-cucu, saudara, terlebih kepada sesama perempuan.
Sudah saatnya perempuan menjadi pahlawan di kalangan sendiri, dan bersatu suarakan “Say No To Violence Against Women and Girl”.
Bagikan Artikel: