
Yenny Zannuba Wahid*
Desember mendatang, tepat sewindu Gus Dur “pergi”. Namun, kisah-kisah, gagasan-gagasan, dan perjuangan-perjuangannya masih terus dibicarakan. Bahkan, di banyak daerah di Indonesia muncul gerakan-gerakan masyarakat yang berkomitmen untuk meneruskan dan memperjuangkan nilai-nilai Gus Dur dalam jaringan Gusdurian. Tidak sedikit pula omongan-omongan di media massa dan media sosial, “jika seandainya Gus Dur masih ada”.
Bagi keluarga besar, kerinduan orang terhadap Gus Dur tentu saja kebanggaan tak ternilai, sekaligus amanat yang tak mudah diwujudkan. Apa yang beliau perjuangkan dan contohkan harus kami rawat dan kembangkan di masa-masa mendatang, sesuai dengan kadar kemampuan dan kekuatan yang kami miliki. Kami pun percaya ada banyak orang yang bakal meneruskan gagasan dan perjuangan Gus Dur dengan cara masing-masing.
Kami amat menyadari, kami bukanlah Gus Dur dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam soal yang dianggapnya prinsipil dan mendasar, Gus Dur sosok yang tak kenal kompromi. Ia tak peduli pada popularitas, bahkan keselamatan dirinya sendiri. Gus Dur enteng saja menerima caci-maki orang-orang yang tak memahami jalan pikirannya. “Hal yang perlu ditakuti adalah ketakutan itu sendiri”. Beberapa kali saya sering mendengar Gus Dur mengatakan kutipan bijak ini. Dalam beberapa hal, saya menyadari masih mempertimbangkan banyak hal.
Di antara kelebihan-kelebihannya itu bisa kita baca dari kisah-kisah yang ditulis dan diceritakan di buku yang ada di tangan Anda ini. Cerita-cerita di buku ini menunjukan begitu luasnya pergaulan Gus Dur. Setiap orang memiliki kisah dan cerita sendiri. Dari kiai, wartawan, hingga seniman. Saya menikmati dan belajar dengan membaca kisah-kisah mereka di buku ini. Sangat mungkin juga jika mereka yang merasa mendukung nilai perjuangan Gus Dur, belakangan justru bersikap sebaliknya dengan berbagai latarbelakang.
Seperti kesimpulan sebaian kalangan, apa yang membuat orang begitu menghormati dan mencintai Gus Dur tak lain karena perjuangannya akan nilai-nilai kemanusiaan. Gus Dur membela mereka yang dizalimi dan tak berdaya, apapun resikonya. Perjuangan dan konsistensinya tak berubah ketika ia berada di bawah rezim otoriter Orde Baru, Orde Reformasi, menjadi presiden, atau setelah tak menjadi presiden.
Pembelaan-pembelaan itulah yang kadang sering tak dimengerti dan disalahmengerti banyak orang. Pembelaan-pembelaannya terhadap kelompok yang dizalimi dan tak berdaya seperti Ahmadiyah, Syiah, minoritas Kristen, masyarakat Tionghoa, dan lainnya sering menjadi sasaran kecaman bahwa Gus Dur dianggap tak mencintai Islam.
Gus Dur pernah mengatakan salah satu yang membuatnya sedih adalah jika dianggap tidak mencintai Islam. Begitulah yang Ia terima saat menolak pemberedelan Tabloid Monitor pada tahun 1995 pasca angket yang menempatkan Nabi Muhammad di urutan kesebelas. Bagi Gus Dur, nilai demokrasi tidak membolehkan pers dibredel. Sebagian pihak mengecam dirinya. Sejumlah penceramah di masjid-masjid menyebut Gus Dur membela penista Islam dan lebih mencintai minoritas. Apa kata Gus Dur? “ Biar sejarah nanti yang menilai. Saya kalau tidak ngeman (kasihan) umat saya, tidak akan diserahu pekerjaan menjadi Ketua PBNU”. Pernyataan ini dimuat majalah Editor.
Saat tak banyak orang memiliki perhatian pada isu Palestina, Gus Dur terus menyuarakan pembelaan terhadap rakyat Palestina. Saya masih ingat, Gus Dur pernah mengajak saya saya dalam acara penggalangan malam pengumpulan dana untuk Palestina di Taman Ismail Marzuki, era tahun 80-an. Di malam itu, saya dipangku Gus Dur yang mengenakan kaos bertuliskan Palestina. Sejumlah seniman ikut berkumpul dalam acara itu, salah satunya Sutardji Calzoum Bachri.
Kisah Ben Subrata, penguasaha dari Etnis Tionghoa dalam buku ini dengan lugas mengisahkan jika Gus Dur tak seperti dituduhkan. Gus Dur juga mengkritik kelakuan sebagian pengusaha dari Tionghoa yang memeras rakyat dan tidak peka pada kemanusiaan.
Jadi bisa disimpulkan, titik tekan Gus Dur dalam setiap pembelaan dan perjuangannya terhadap kelompok minoritas adalah pembelaan terhadap yang tak berdaya, mustadh’afin. Gus Dur tidak selalu harus sepandangan dengan pihak-pihak yang dibelanya. Soal aqidah dan keyakinan soal masing-masing. Yang diperjuangkan Gus Dur tak lain demi memastikan bahwa hak-hak mereka untuk bersuara dan mendapat perlakuan yang adil dan setara sebagai warga negara, betapapun kita tak setuju dengan pandangan mereka. Itulah esensi demokrasi.
Mungkin kita juga lupa bahwa di saat Orde Baru, bukankah korbannya juga sebagian tokoh dan umat Islam, terutama yang sangat kritis terhadap kekuasaan? Apa yang dilakukan Gus Dur bukankah juga membela dan memperjuangkan umat Islam. Jika sekarang Gus Dur membela dan memperjuangkan hak beribadah dan berkeyakinan kelompok minoritas itu lantaran karena kekuasaan mayoritas mendiskriminasi mereka. Begitupun jika yang menjadi minoritas muslim yang didiskriminasi hak-haknya seperti muslim Palestina, muslim di Filipina, dan Thailand Selatan.
Kerinduan dan penghormatan orang terhadap Gus Dur sekali lagi bagi saya adalah karena apa yang diperjuangkan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki setiap orang. Tanpa nilai-nilai itu Gus Dur tak mungkin mendapat penghormatan begitu besar. Nilai-nilai tersebut dapat kita temukan dalam kisah-kisah di buku ini. Di dalamnya kita juga bisa menyimak, tak semua orang setuju dengan langkah Gus Dur, tapi umumnya menghormati keputusan Gus Dur.
Ke depan, jika nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur ingin terus hidup dan berkembang, tidak ada cara lain selain mentransformasikannya ke dalam gerakan sosial bersama, tidak lagi sebatas individu-individu. Gerakan sosial dapat dikembangkan dengan beragam pendekatan dan cara. Bisa melalui pendekatan agama, ekonomi, politik, dan budaya. Inilah pekerjaan jangka panjang bagi setiap orang yang mencita-citakan demokrasi, toleransi, dan perdamaian.
Saya amat menyambut baik inisiasi untuk mewawancarai dan mengumpulkan tulisan-tulisan tentang Gus Dur dari banyak tokoh. Melalui upaya ini, pengalaman dan nilai-nilai penting di dalamnya dapat didokumentasikan dan disebarkan secara lebih luas. Saya berterima kasih kepada seluruh tim Wahid Foundation yang terlibat dalam penerbitan buku ini: Mas Ahmad Suaedy, Mas Abdul Moqsith Ghozali, Mas Rumadi Ahmad, Muhammad Subhi Azhari, terutama dua orang penyunting Alamsyah M Dja’far dan Wiwit Fatkhurrahman. Saya juga berterima kasih kepada penerbit Elexmedia yang berkenan menerbitkan buku ini. Selamat membaca.
Rumah Pergerakan Gus Dur, Juli 2017
* Puteri kedua Alm KH Abdurrahman Wahid; Direktur The Wahid Foundation
Sumber: Alamsyah M. Djafar & Wiwit R Fatkhurrahman, Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (Elex Media; Jakarta, 2017)
Bagikan Artikel: