
AYI JUFRIDAR
Cot Gapu adalah sebuah desa di Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen, Aceh. Dengan jumlah penduduk 1.527 jiwa dari 412 kepala keluarga, Cot Gapu menjadi contoh bagi suburnya keberagaman yang menjadi ruh Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Kampung di tepi Jalan Medan – Banda Aceh itu terdiri dari empat dusun. Sebagian besar penduduk asli menetap di Dusun Utara. Mereka bekerja sebagai petani yang memiliki lahan sendiri—di samping menekuni berbagai profesi lainnya. Di Dusun Tengah penuh dengan pegawai negeri dan pensiunan. Ada Jalan Veteran di dusun tersebut yang dihuni para pensiunan TNI, Polri, dan PNS. Para PNS juga banyak terdapat di Dusun Timur, selain para pedagang. Sedangkan di Dusun Selatan banyak tukang bangunan, kontraktor, dan sebagian kecil PNS. Demografi itu terbentuk secara alamiah secara bertahun-tahun.
Miniatur Indonesia
Di Cot Gapu kita bisa melihat implementasi dari kebhinekaaan bangsa. Sebagian besar memang penduduk Aceh asli, tapi kita juga bisa menemukan warga Tionghoa, Jawa, Batak, Madura, Padang, dan Bugis. Keturunan Tionghoa sudah empat generasi hidup di Cot Gapu. Ada di antara mereka yang Muslim sejak lahir dan menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu. Namun, ada juga keturunan Tionghoa beragama Kristen dan Budha.
Di sana kita juga menemukan warga keturunan Ambon generasi keempat yang masih menganut agama Kristiani. Bahkan dulu pernah ada bule keturunan Belanda yang tinggal di sana karena bekerja di sebuah perusahaan swasta, dan pada masa itu mereka nyaman beribadah secara Khatolik tanpa pernah terusik sampai kemudian pindah karena pekerjaan. Saya pernah satu sekolah dengan anak-anak keturunan Belanda tersebut dan kita nyaman dengan perbedaan warna kulit, agama, dan suku bangsa.
Sungguh indah melihat anak muda berkulit kuning dan bermata sipit atau pemuda berkulit gelap dan berambut keriting, bercakap-cakap dengan bahasa Aceh kental ketika bergotong-royong membantu warga Aceh yang sedang menggelar hajatan. Ketika ada warga meninggal, warga lain yang berbeda suku dan agama saling melayat tanpa pernah mempersoalkan keyakinan masing-masing.
Warga berdarah Jawa bisa menjadi tokoh masyarakat di sana, tak ada diskriminasi bagi minoritas. Kaum pendatang bisa mencari nafkah tanpa gangguan, bahkan ketika mereka lebih makmur dari penduduk asli. Tak ada kecemburuan, tak ada gesekan—apalagi konflik—selama beberapa generasi. Perbedaan agama, suku, dan bahasa tidak menjadi sumber masalah, dan tidak menjadi materi kampanye dalam pemilihan kepala desa, misalnya. Konflik tetap ada, seperti protes warga terhadap beberapa program desa, tetapi tidak pernah menggores keberagaman warga.
Sama dalam perbedaan
Apa yang menjadi sumber kerukunan masyarakat di Cot Gapu sehingga tidak pernah terpengaruh dengan konflik horizontal di daerah lain? Tingkat pendidikan sepertinya tidak terlalu memengaruhi karena sebagian besar penduduk tamatan SD, kecuali generasi sekarang yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Tokoh muda di sana, Sulaiman Aji Daud, mengatakan mereka tidak pernah ku’eh (iri dengki) terhadap pendatang yang berbeda suka, agama, dan bahasa. Apalagi para pendatang itu sangat menghargai adat dan budaya masyarakat setempat.
Uniknya, masyarakat tua di sana seperti tidak menyadari adanya perbedaan ketika ditanya harmonisasi yang sudah mengakar. Mereka tidak melihat perbedaan sebagai sebuah masalah. Konflik bersenjata selama 31 tahun juga tidak sampai mengganggu kerukunan di sana. Meski ada penduduk berpendidikan rendah, mereka tidak mudah terprovokasi dengan berbagai kekerasan multikultur di daerah lain di Indonesia, termasuk kekerasan berbau agama yang pernah terjadi di Aceh Singkil pada 2015 silam.
Masyarakat lebih fokus kepada masalah ekonomi dibandingkan dengan mempersoalkan perbedaan. Mereka sudah selesai dengan pluralisme sehingga sudah lama terbangun rasa saling percaya, saling menghargai, dan pengertian. Dalam kondisi suprastruktur sosial yang kuat tidak mudah goyang dengan isu-isu sensitif yang terjadi di luar.
Cara pandang terhadap pluralisme yang bertemu dengan nilai-nilai agama memperkuat harmonisasi di tengah masyarakat Cot Gapu. Sayangnya, kekuatan nilai ini terlalu kecil untuk bisa menular ke daerah lainnya di Indonesia. Kerukunan seolah hanya menempati tempat senyap dalam kehidupan berbangsa, sebab ruang riuh susah sesak dengan konflik yang berdarah-darah.
AYI JUFRIDAR
Jurnalis dan penulis fiksi, pernah menetap di Cot Gapu selama 20 tahun.
Bagikan Artikel: