Kembali

Yenny Wahid: Intoleransi dan Radikalisme Masih Jadi PR Pemerintahan Mendatang

Ditulis : Admin

Jumat, 10 Mei 2019

Jakarta-Direktur Wahid Foundation, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau Yenny Wahid menyatakan persoalan intoleransi, radikalisme, ujaran kebencian dan ekstremisme kekerasan masih menjadi tantangan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintahan hasil Pemilu 2019. Yenny menegaskan, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar warga menjadi ukuran keberhasilan sebuah negara. Kesejahteraan dan kemakmuran sulit tercapai jika warganya tidak toleran atau bahkan saling membenci.

"Kalau kita ingin menciptakan generasi tangguh ini semua harus diatasi. Persoalan ekonomi dan persoalan intoleransi itu jadi satu bungkus. Ke depan kita ingin menitipkan ini pada pemerintah baru. Dalam mengatasi masalah di masyarakat itu tidak bisa dilihat dari satu dua pilar saja, tetapi harus jadi gabungan. Kita ke depan tidak bisa bercita-cita untuk menciptakan negara dan bangsa yang makmur sejahtera, tetapi juga bangsa makmur, sejahtera dan toleran. Toleransi, kerukunan antar umat dan kerukunan antar warga jadi faktor besar yang menjadi ukuran keberhasilan pemerintahan manapun di dunia. Yang akan bisa menjadi faktor mengantar keberhasilan ekonomi dan capaian-capain lainnya," kata Yenny dalam Silaturahmi dan Diskusi bersama awak media di Kantor Wahid Foundation, Jakarta, Kamis (9/5/2019).

Dipaparkan Yenny, dari survei yang dilakukan pihaknya pada 2016, hanya sekitar 0,4 persen responden yang radikal. Angka tersebut menurun pada survei tahun 2017, di mana hanya 0,3 persen responden yang radikal. Namun, Yenny mengingatkan, persentase tersebut tetap menjadi persoalan jika diproyeksikan terhadap total jumlah penduduk Indonesia.

"Walaupun angkanya 0,3 persen, tapi kalau diproyeksikan terhadap jumlah penduduk Indonesia, katakanlah 150 juta orang dewasa maka yang didapat angkanya 600.000 orang. Ini besar sekali," ungkapnya.

Yenny membeberkan sejumlah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan radikalisme, seperti merusak rumah ibadah agama lain, melakukan demonstrasi terhadap mereka yang dianggap melakukan penistaan terhadap agama, menyumbang kepada organisasi yang dianggap radikal. Ancaman radikalisme semakin nampak mengkhawatirkan jika melihat angka survei berikutnya. Diungkapkan Yenny, dalam survei tahun 2017, terdapat 7,8 persen responden yang bersedia menjadi radikal. Bila diproyeksikan kepada jumlah penduduk Indonesia, maka terdapat sekitar 11 juta penduduk Indonesia yang bersedia melakukan tindakan radikalisme.

"Kalau tidak diatasi ini akan menjadi persoalan pemerintahan kita siapapun presidennya," katanya.

Demikian pula dengan persoalan intoleransi. Dikatakan, intoleransi di Indonesia terus meningkat setiap tahun, dan bahkan mencapai 57 persen pada 2017. Yenny mengatakan, tindakan intoleransi dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak memenuhi hak orang lain, seperti tidak membolehkan orang yang tidak disukainya menjadi tetangga, tidak membolehkan orang yang tidak disukainya mengajar di sekolah negeri atau menjadi pejabat publik.

"Intoleransi ini tidak hanya satu agama tertentu, tetapi semua agama dan semua kelompok," katanya.

Yenny mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor yang menjadi kunci terjadinya persoalan intoleransi, radikalisme, ujaran kebencian dan ekstrimisme kekerasan. Dikatakan, keterkaitan sosial, lemah atas akses ekonomi serta lemah literasi menjadi faktor kunci persoalan-persoalan tersebut.

"Tiga faktor kunci, yakni alienasi sosial, kesenjangan ekonomi dan persoalan literasi. Literasi ini bukan persoalan bisa membaca atau tidak, tapi kemampuan mencerna informasi yang masuk, apalagi jika informasi itu bersumberkan seolah dari narasi agama," katanya.

Dikatakan Yenny, dari survei yang dilakukan pihaknya selama ini, lemahnya literasi menjadi faktor penting persoalam intoleransi dan radikalisme. Orang mudah terpapar menjadi radikal dan intoleran karena terpapar materi terutama materi keagamaan yang isinya bersifat intoleran.

"Itu besar sekali faktornya untuk mengubah persepsi seseorang dibanding persoalan ekonomi saja. Makanya kita melihat fenomena dimana ada orang yang terlibat radikalisme walaupun berasal dari keluarga kaya. Sebelumnya ada anggapan, persoalan kemiskinan, dan pendidikan adalah pemicu utama orang masuk kelompok radikal, ternyata hasil survei kita menunjukkan tidak demikian," katanya.

Persoalan lainnya, yakni perasaan teralienasi yang muncul saat seseorang merasa tidak mampu berkembang, maju atau bersaing dengan orang lain dari etnis atau agama tertentu. Perasaan ini juga muncul saat seseorang merasa harus melakukan sesuatu terhadap ketidakadilan terjadi di tengah masyarakat. Perasaan teralienasi dan lemahnya literasi, kata Yenny dapat menjadi faktor pemicu seseorang menjadi radikal.

"Ketika perasaan teralienasi bertemu dengan materi yang seolah bersifat agama, yang membuat dia merasa harus melakukan tindakan ekstrim untuk mengoreksi ketidakadilan di tengah masyarakat itu juga bisa jadi pemicu," katanya.

Dengan melihat tantangan dan faktor kuncinya, Yenny menyatakan persoalan intoleransi dan radikalisme dapat diatasi dengan memastikan kohesi sosial yang tercapai, penguatan kesejahteraan sosial, serta penguatan literasi. Ditekankan, mengatasi persoalan intoleransi dan radikalisme harus dilakukan secara komprehensif dari sisi kesejahteraan maupun penguatan literasi. Dengan mengatasi persoalan intoleransi dan radikalisme, Yenny optimistis, Indonesia dapat menjadi negara besar.

"Baru kemudian yang kita harapkan generasi yang tangguh," harapnya.

Sumber: beritasatu.com

Bagikan Artikel: