Kembali
Siaran Pers: Peluncuran Laporan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan Wahid Foundation 2018
Ditulis : Admin
Kamis, 5 September 2019

Membatasi Para Pelanggar : Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama Atau Berkeyakinan (KBB) Di Indonesia Tahun 2018
Jakarta, 5 September 2019
Wahid Foundation bekerjasama dengan Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) menyelenggarakan peluncuran dan seminar hasil Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Tahun 2018 Kamis, 5 September 2019 pukul 09.00 – 13.00 WIB bertempat Aula SKSG Gedung IASTH Lantai 3 Pasca Sarjasana Universitas Indonesia (UI) Kampus Salemba Jakarta Pusat. Kurang lebih 100 peserta hadir dalam peluncuran dan seminar dari berbagai elemen mahasiswa, akademisi, aktifis pegiat HAM, dan jaringan organisasi masyarakat sipil.
Dalam kesempatan ini Direktur Wahid Foundation menyampaikan di tahun 2019 ini, tradisi pemantauan kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) memasuki tahun kesebelas sejak 2009. Usia yang tidak bisa disebut sangat lama, tapi juga tak bisa dikatakan sebentar. “Kami akan terus berkomitmen terus mengembangkan pemantauan dan laporan ini agar makin hari jaminan hak beragama berkeyakinan semakin meningkat dan Indonesia tetap mengedepankan wajah negara demokratis berpenduduk muslim terbesar.”
Ada beberapa temuan menarik seperti tahun sebelumnya, tahun ini pemantauan WF menemukan tren penurunan penggunaan cara-cara kekerasan fisik dalam pelanggaran KBB. Tiga jenis tindakan teratas kebanyakan bentuk-bentuk non-kekerasan fisik: pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan (48 tindakan), penyesatan agama/keyakinan (32 tindakan), pelarangan aktivitas (31 tindakan) dan ujaran kebencian (29 tindakan).
Hasil Laporan KBB 2018 mencatat beberapa temuan penting.Pertama, sepanjang periode tersebut kami mencatat terdapat 192 peristiwa dengan 276 tindakan pelanggaran. Adapun praktik baik tercatat sebanyak 783 peristiwa dengan 995 tindakan. Jumlah praktik baik meningkat drastis sebanyak 96 % Peristiwa praktik baik tertinggi terjadi pada Februari 2018, kemudian Juni dan Maret. Tampaknya ini dipengaruhi respons jelang Pilkada 2018 di beberapa daerah termasuk pilpres 2019. Media atau pers tampaknya belajar dari politisasi agama yang marak diusung salah satu calon gubernur saat Pilkada Jakarta 2017.
Kedua adalah bawah aktor non-negara menjadi pelaku pelanggaran terbanyak dibanding negara. Sebanyak 146 dilakukan aktor non-negara, dan 130 dilakukan aktor non-negara. Tiga teratas dimulai dari polres/polresta (16 tindakan); bupati (12 tindakan) dan kejaksaan negari (10 tindakan). Sedang tiga aktor kelompok non-negara masing-masing sekelompok warga (48 tindakan), MUI Kabupaten atau kota, dan ormas (9 tindakan).
Ketiga, sepanjang tahun ini kami juga menemukan 22 regulasi yang melanggar dengan tiga jenis kategori: keharusan melaksanakan shalat berjamaah (13 kebijakan); pewajiban busana atau atribut keagamaan (6 kebijakan); dan pewajiban baca al-Quran (3 kebijakan). Mayoritas berbentuk surat edaran. Misalnya Surat Edaran Bupati Aceh Besar bernomor 451/65/2018 pada Januari 2018 tentang kewajiban penggunaan busana islami bagi para pramugari dari maskapai penerbangan yang masuk ke Aceh Besar.
Selain itu, dalam Laporan KBB kita juga mencatat laporan praktik baik ini, kita bisa melihat bahwa kita memiliki modal besar mengatasi tantangan ini dengan membanjir pesan dan kerja-kerja nyata, bukan hanya promosi toleransi, tetapi juga praktik toleransi, dan pencegahan serta resolusi konflik agama atau keyakinan. Perayaan Tahun Imlek 2569 misalnya berlangsung damai termasuk di Aceh meski berada di daerah yang memiliki aturan berdasarkan syariat Islam.
Hadir sebagai narasumber antara lain Yenny Wahid (Direktur Wahid Foundation), Yunianti Chudzaifah (Komnas Perempuan), Muhammad Lutfi Zuhdi (Direktur SKSG UI), Muhammad Isnur (YLBHI), Salahuddin, SH (Direktur Informasi HAM, Kemenkumham RI), M. Sya’roni Rofii (Dosen Ketahanan Nasional SKSG UI).
Pada akhir sambutannya Yenny Wahid menyampaikan jika laporan ini juga memberikan rekomendasi strategis kepada berbagai pemangku kepentingan, baik aktor negara maupun non negara, ditingkat nasional maupun tingkat lokal. Kerjasama dan koordinasi antar pemangku kepentingan penting dilakukan guna menekan angka pelanggaran, dan tentu lebih baik lagi jika mampu mencegah potensi baru.
Narahubung : David (081249327210), media@wahidinstitute.org
Bagikan Artikel: