Kembali

Kemulian Wanita di dalam Islam

Ditulis : Admin

Sabtu, 3 September 2016

Wanita adalah belahan jiwa dari seorang pria. Ia diciptakan oleh Tuhan secara fitrahnya yaitu bersifat feminin, lembut, dan tidak mempunyai tenaga yang kuat dibandingkan laki-laki. Yang paling dominan, ia mempunyai kelebihan memiliki perasaan yang kuat, penyabar, dan hati yang lembut. Dan itulah salah satu dari hikmah kenapa wanita dalam Islam memikul beban dalam mendidik anak-anak, sebagai peran penting dalam rumah tangga, melayani suami dan lain sebagainya.



Seiring dengan berjalannya waktu, muncul kicauan suara yang menggembar-gemborkan pemikiran dan anggapan mereka bahwa wanita harus disama ratakan dengan laki-laki secara keseluruhannya; pergaulan, kebebasan, hak, pekerjaan, jabatan dan lain sebagainya. Mereka beranggapan bahwa perempuan di zaman sekarang, lebih spesifik lagi perempuan dalam Islam adalah perempuan yang banyak didiskriminasi, intimidasi, banyak tekanan, kurang bebas, terzalimi, dll. Mereka beranggapan bahwa semua itu adalah merendahkan martabat perempuan, perempuan dianggap tidak berdaya, terhinakan dan begitu seterusnya, sehingga mereka menggemborkan kebebasan perempuan dan kesamaan dengan laki-laki.



Padahal, jika mereka menyadari, perempuan di dalam Agama Islam adalah perempuan yang sangat mulia kedudukannya, penuh penghormatan, kelembutan, dan segala sifat kemuliaan. Jadi, Anda semua para pembaca jangan terkecoh terlebih duhulu dengan kicauan suara mereka.

 

Jika kita tilik sejarah sebelum datangnya Agama Islam, ketika itu, perempuan sangatlah tidak ada harganya, dianggap hina, hanya sebagai pemuas nafsu belaka, tidak mendapatkan hak sama sekali, dan begitu seterusnya. Coba kita lihat sebab turunnya ayat yang ke-19 dari Surat An-Nisa', ada tiga sebab yang menyebabkan turunnya ayat itu. 



Pertama, bahwasannya dahulu sebelum Islam, jika seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, kemudian datang atau terdapat anak lelaki ahli warisnya atau sebagian dari ahli waris lainnya, maka anak atau sebagian ahli waris tersebut mempunyai hak penuh terhadap mantan istri ayah mereka yang meninggal. Jika ahli waris tersebut berkenan, mereka bisa menyetubuhi mantan istri ayahnya yang meninggal tersebut, dan jika berkenan, mereka bisa menikahkan dengan siapa saja tanpa harus menyerahkan mahar nikah, dan jika berkenan pula, maka bisa menikahkan dengan seorang laki-laki sesuai keinginannya dan mengambil maharnya. Seperti inilah kedudukan wanita sebelum datangnya Islam.



Kedua, dalam peristiwa lainnya, pada zaman dahulu jika seorang laki-laki menikahi perempuan dan ternyata setelah pernikahan sang suami itu ada perasaan kurang suka atau kurang tepat menurutnya, dia bebas menahan, memboikot dan membuat suasana supaya istrinya tidak merasa nyaman disampingnya, tidak pula mencerainya dan tidak pula menyetubuhinya. Suami itu akan melepaskan dan menceraikan si istri tersebut jika si istri sudah membayar tebusan yang sudah ditentukan olehnya. Demikianlah keadaan dan kehinaan perempuan sebelum datangnya Islam, kesusahan, kehinaan dan penindasan selalu di rasakan oleh mereka.



Ketiga, pada zaman sebelum datangnya Islam, mayoritas dari seorang suami adalah tidak berbuat baik dengan si istri, memarahi, membentak, mencaci, berkata kotor kepada istri, bahkan memukul seenaknya.



Dalam budaya yang menunjukkan kehinaan seorang perempuan pula, bahwa pada zaman itu, perempuan tidak berhak sama sekali dalam pembagian harta warisan. Setelah Islam datang, turunlah ayat warisan yang memberikah hak waaris kepada perempuan.



Itulah sekelumit kehinaan yang digambarkan dalam Al-Qur'an. Ada pula kekejian dan kehinaan lebih dari itu dan digambarkan dalam Al-Qur'an pula, yaitu, jika sang istri mempunyai anak perempuan, kalau keluarganya berkenan, maka akan membiarkannya hidup dengan menanggung cacian dan ejekan dari tetangga-tetangga di daerahnya, dan kalau tidak kuat dengan keadaan tersebut, maka mereka akan mengubur hidup-hidup bayi perempuan itu. Karena menurut budaya dan adat istiadat daerah itu, perempuan adalah sesuatu yang hina, tidak bisa berperang, tidak memiliki tenaga dan begitu seterusnya.



Semua ini adalah keadaan wanita di daerah Hijaz atau Makkah Madinah dan sekitarnya sebagai tempat turunnya Al-Qur'an. Sedangkan keadaan wanita di negeri selain Hijaz, justru lebih hina dan sengsara dibandingkan dengan yang sudah disebutkan. Wanita ketika itu harus mencari suami sendiri dengan cara melacurkan dirinya terlebih dahulu, bahkan tidak segampang itu, dalam melacurkan dirinya, wanita harus memasangkan bendera diatas rumahnya terlebih dahulu sebagai tanda bahwa dia siap untuk dilacur. Ada pula yang dinamakan Poliandri, dan segala macam Poli lainnya. Salah satu kelompok di kerajaan Persia misalnya, seperti yang disebutkan oleh Imam Asy-Syahrostani bahwa dalam kerajaan Persia tersebut, terdapat satu sekte yang bernama Al-Mazkiyah. Sekte ini mempunyai filsafat sendiri dibandingkan sekte-sekte lain dalam kekuasaan kerajaan itu, yaitu halalnya perempuan secara umum. Jadi, perempuan menurut mereka bisa dimiliki dan dirasakan oleh banyak laki-laki secara bersamaan seperti dimilikinya air, api, tanah dan lain sebagainya. (Silahkan Anda buka di kitab-kitab sejarah Islam. Diantaranya, Al-Fiqh As-Sirah karya Dr. Al-Buthy, Rahikul Makhtum karya Al-Mubarakfuri dll.)



Seperti itulah keadaan wanita, hina, hanya pemuas nafsu belaka, ditindas, diboikot, disiksa, sengsara dan lain sebagainya, hal itu semua berubah setelah datangnya Islam. Dalam agama Islam, kebiasaan para ahli waris dalam mewaris istri ayahanda mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya seperti yang sudah disebutkan dalam sebab turunnya ayat yang pertama dan kedua, telah dilarang dalam agama Islam. Allah Swt. berfirman,"Wahai orang-orang mukmin, tidaklah halal bagi kalian semua mewarisi perempuan-perempuan (istri dari sang ayah) secara paksa,"  (An-Nisa':19).



Begitu pula seperti keadaan yang disebutkan dalam sebab turunnya ayat yang ketiga, datangnya agama Islam menghilangkan kebiasaan dan budaya yang menindas seorang wanita tersebut. Dalam Islam mengajarkan untuk melakukan dan mempergauli sang istri secara lembut, halus, tidak main asal pukul, kasar dan lain sebagainya. Allah Swt. berfirman, "Pergaulilah mereka (para istri) dengan baik," (An-Nisa': 19).



Pada zaman dahulu pula, perempuan juga tidak mendapatkan warisan ketika kerabatnya meninggal. Turunlah ayat warisan dengan memberikan hak waris kepada perempuan. Sehingga entah ahli waris laki-laki atau perempuan, semuanya sama-sama mendapatkannya. (Silahkan Anda melihat sebab turunnya ayat warisan di Surat An-Nisa' 11).



Semua itu, demi mengangkat derajat perempuan, memuliakannya, memberi hak penuh terhadapnya, menghilangkan dan menyelamatkan dari keterpurukan, kehinaan, cacian, kerendahan, diskriminasi, intimidasi dan sagala hal yang ditimpa oleh perempuan. Belum cukup demikian, dalam agama, demi mengangkat derajat perempuan, bahkan sampai dicantumkan pada salah satu surat dalam Al-Qur'an yang bernama 'An-Nisa' yang berartikan 'Perempuan'.



Belum cukup sampai di situ demi memuliakan perempuan, bahkan, dalam agama, seorang ibu lebih didahulukan dan dimuliakan dibandingkan sang ayah. Dalam salah satu hadits berbunyi, ketika salah satu sahabat Rasulullah Saw. bertanya kepada beliau: (Wahai Rasulullah,) siapa diantara semua manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya? "Ibumu," jawab Rasulullah. Lalu siapa lagi? "Ibumu," jawab Rasulullah kembali. Lalu siapa lagi? "Ibumu," jawab Rasululluh lagi. Lalu siapa lagi? "Ayahmu.".



Subhanallah.. Sedemikian mulianya seorang perempuan di dalam Islam hingga disebutkan sampai tiga kali oleh Rasulullah Saw. Lalu, kurang apa lagi kemuliaan yang diinginkan oleh perempuan? Kurang apa lagi kemuliaan yang diinginkan oleh orang-orang yang menggembar-gemborkan kebebasan seorang wanita?



Maka dari itu, jika ada suara yang berkicau bahwa perempuan itu tidak bebas, banyak tekanan, banyak penindasan dan lain sebagainya, semua itu adalah salah, kebohongan, sengaja menutupi sejarah atau memang tidak mengetahui sejarah. Janganlah terkecoh dengan kicauan mereka.



Wallahu A'lam.

 

Oleh: Moeslich El-Malibary, Mahasiswa Univ. Imam Syafi'i Hadramaut Yaman

 

Tulisan ini dimuat di Muslimedianews, media online yang menjadi anggota Sindikasi Media Wahid Foundation. 

 

Bagikan Artikel: