Kembali

Ironi Gagal Memahami Islam Nusantara

Ditulis : Admin

Selasa, 27 September 2016

Islam Nusantara memang sudah menjadi kajian akademik dan tidak akan bisa diselesaikan dengan satu dua tahun mengupasnya. Apalagi membahas Islam Nusantara hanya dengan Seminar Nasional dan Bahtsul Masail yang hanya sehari. Ujung-ujung bisa jadi gagal paham dan akan lahir Islam Nusantara Garis Lurus (ISNUSGL).



Seharian saya hanya menyimak obrolan di beberapa group diskusi tentang perkembangan Seminar Islam Nusantara di Universitas Negeri Malang (13/2/2016). Walaupun belum tahu apa hasil seminar itu, paling tidak dapat saya catat dua hal menarik.



Pertama, merespon dawuh Gus Najih Maimun yang ditulis oleh Gus Hamid Pati bahwa: Gus Najih "menerima" Islam Nusantara yang penting tidak ditunggangi liberal, Syi'ah dan aliran Sesat lainnya.



Dan kedua, respon Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berlebihan dengan provokasi satu Tuhan, satu Rasul, satu syariat Islam dan satu negara khilafah. Artinya mau menegaskan bahwa Islam Nusantara "dianggap" bukan Islam.



Bagi kalangan akademisi, baik di kampus atau di pesantren, perbedaan pendapat dalam ilmu adalah wajar. Bahkan menjadi vitamin dalam dialektika pengetahuan. Justeru tidak siap berbeda dalam ilmu adalah kegagalan berpengetahuan. Sebab ilmu adalah proses mencari kebenaran.



Saya beranggapan bahwa Islam Nusantara sudah tidak menarik diperbincangkan setelah Muktamar NU selesai. Ternyata anggapan itu salah besar. Nyatanya sampai sekarang diskusi Islam Nusantara masih marak di pojok kampus, pesantren, masjid, sekolah dan dunia maya.



Dan pasti diskusi itu tidak lepas dari pro dan kontra. Yang menjadi aneh adalah ketika mau membahas Islam Nusantara tetapi sudah dengan semangat "tidak setuju". Dan ketidaksetujuan itu dibawa sampai dengan menghakimi tanpa dengan melakukan tabayun, tashawwur dan tashdiq terlebih dahulu.



Dan dapat dibayangkan, hasil diskusinya akan gagal paham. Jadinya lahir generasi anti-Islam Nusantara yang dikemas dengan cara mengafirkan, meliberalkan, membid'ahkan dan lain-lain. Lahirlah Islam Garis Lurus yang menganggap pembahas atau kalangan peduli Islam Nusantara itu "Garis Bengkok".



Wajar. Sangat wajar karena membahas Islam Nusantara dengan metodologi yang tidak searah dan gagal paham. Tarikannya sudah beda kutub doktrin dan meluas pada tinjauan subjektif: siapa saya dan siapa kamu, jangan boleh sama dan harus berbeda.



Kalau saya ingin menyebut Islam Nusantara itu sangat sederhana, Islam Indonesia. Islamnya sama dengan orang Arab asli bawaan Nabi Muhammad dan amaliyah shahabat yang sudah diindonesiakan. Bukan berarti membuang kesunnahan dan merajut dengan keindonesiaan saja. Salah besar itu akhi dan ukhti. Belajar lagi ya akhi dan ukhti.



Islam Nusantara ibarat pisau dan batu akik. Pisau yang sudah tajam akan menjadi lebih tajam jika diasah dan sering dipakai (tidak hanya disimpan). Batu akik semakin diberi serbuk intan dan digosok akan menjadi lebih mengkilat dan berwibawa.



Agama itu perilaku. Islam juga perilaku. Bukan hanya sekadar teori syariah. Maka pisau dan akik itu sebagus apapun jika tidak dipakai tidak akan tampak ketajaman dan kemengkilapannya. Demikian juga Islam Nusantara.



Bagi yang tidak paham dunia perpisauan dan perakikan (batu mulia), maka akan gagal paham. Apa makna pisau dan apa saja jenis batu akik, perlu dipelajari. Kalau mau belajar akan paham intisari dari dua benda itu. Jangan ada penyalahan dahulu, sebelum  tahu dunia itu.



Maka untuk mau memahami Islam Nusantara itu minimal butuh empat persiapan mental dahulu. Empat hal ini bagi saya paten dan tidak boleh ditawar-tawar.


Pertama, pahami Islam secara kaffah dulu (iman, Islam dan ihsan). Jangan hanya paham Islam dari buku-buku terjemah atau website abal-abal yang isinya fitnah dan pengkafiran pihak yang beda. Islam kaffah itu materi keislaman yang hadir dari kitab turast dan belajar dengan Kyai atau guru agama bersanad.


Kedua, banyak belajar berjam'iyyah (kumpul dengan orang). Agama yang dileburkan dengan orang banyak (seakidah) akan menjadi kuat. Dan jika agama didialogkan dengan lintas akidah akan semakin matang. Maka agama yang hanya didialogkan secara individu dan kelompoknya saja akan melahirkan radikalisme dan pengkafiran pihak yang beda.


Ketiga, selalu mengikuti perkembangan persoalan duniawiyah tanpa harus lupa persoalan akhirat. Keduanya perlu berjalan beriringan. Sehingga tidak hanya paham zaman Nabi, shahabat saja, tetapi paham era Islam Pasai, Wali Songo, Mataram hingga Islam era Jokowi.


Dan keempat, selalu berhusnudhan dalam beragam dengan pikiran yang dingin. Dalam bahasa kalangan ahlissunnah annahdliyah dikenalkan tasamuh, tawazun dan i'tidal. Jangan gampang emosi menghadapi hal yang baru. Kalimat bid'ah itu luas artinya tidak hanya dlalalah atau sesat semata.



Jangan pernah gagal memahami Islam Nusantara. Sebab kegagalan memahaminya akan banyak ditertawakan. Jika sudah tahu gagal paham, tanyakanlah pada yang paham. Jangan berpura-pura paham tapi isinya menjelek-jelekkan. Kalau mau tahu akik, tanya ke ahli akik agar semakin tahu nama-nama akik dan harga jual pasaran agar tidak tertipu.



Jika ingin tahu Islam Nusantara, maka hadirlah di forum-forum ilmiah pengusung Islam Nusantara dan silahkan berdiskusi terbuka. Jika tetap tidak mau, silahkan buka forum anti Islam Nusantara, tapi berikan informasi hasil ketidaksepakatan agar bisa dijawab secara ilmiah.



Islam Nusantara bukan agama baru dan bukan ahli bid'ah. Tapi tegas bahwa Islam Nusantara adalah pemahaman Islam berkebangsaan khas Indonesia dengan—meminjam istilah Ahmad Baso—PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945).


Saya beranggapan kuat bahwa kaum gagal paham Islam Nusantara adalah mereka yang anti PBNU dan ingin ada khilafah di Indonesia. Mimpi di siang bolong ya akhi dan ukhti. Mari kembalikan kecintaan kita pada agama Islam dan pengabdian kita pada NKRI harga mati dengan jaga persatuan bangsa. Jangan pernah mau Islam diadu domba.



Oleh: M. Rikza Chamami, mantan Pjs Ketua Umum PP IPNU dan Dosen UIN Walisongo

 

Artikel ini dimuat di NU Online sebagai bagian dari Program Sindikasi Media Wahid Foundation.

 

 

 

Bagikan Artikel: