Kembali

Dari Sangsi Hingga Promosi; Refleksi Program Sekolah Damai Wahid Foundation (1)

Ditulis : Admin

Selasa, 6 Oktober 2020

Akhir Desember 2017 lalu, saya mendapat "perintah” yang cukup menantang; mengumpulkan guru-guru PAI di SMA dan SMK se Jawa Tengah. Titah itu datang dari teman-teman yang bekerja untuk kemanusiaan di Wahid Foundation –selanjutnya ditulis WF–. Tak ada kata lain selain "siap”, meskipun mulanya belum ada gambaran, bagaimana supaya dapat mengumpulkan guru sejumah 35 orang itu.

 

Bermodal acuan kegiatan (tor), manual acara, dan gambaran tujuan kegiatan, saya mulai mencari kontak, baik melalui perorangan maupun internet. Dari sebuah situs Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI Jateng, kontak Ketua MGMP PAI Drs. Khoiri saya dapatkan.

 

Singkatnya, mulailah pekerjaan yang menantang itu. Mengapa menantang? Pertama, guru agama Islam di sekolah umum mempunyai peranan penting dalam "menghitam-putihkan” pemahaman keagamaan Islam para siswa. Kedua, guru PAI juga mempunyai peranan penting dalam pengembangan organisasi keagamaan Islam (Rohis) di sekolah.

 

Padahal, kala itu WF belum lama merilis hasil survei terhadap Rohis (tahun 2016) dan hasilnya cukup mengejutkan. Survei menunjukan bahwa sebanyak 86 persen siswa aktivis Rohis di SMA berminat untuk jihad ke Suriah. Siswa yang berminat ke suriah itu kebanyakan memiliki kecerdasan dan prestasi di atas rata-rata.

 

Bukan saja hasil survei WF, penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah menunjukan bahwa aspirasi guru agama terhadap penerapan syari’at Islam pun cukup tinggi.

 

Penelitian menunjukan, guru agama yang setuju pemerintah berdasarkan syari’at Islam mencapai 78 persen. Dan guru yang mendukung ormas dalam memperjuangkan syari’at Islam mencapai 77 persen. Yang lebih mencengangkan, ada 18 persen guru agama yang tidak setuju bahwa Pancasila dan UUD ’45 sejalan dengan syari’at Islam.

 

Berkaca pada data-data itu, ada sedikit "beban” pikiran, "mungkin saja guru-guru yang akan saya jumpai juga nanti mempunya kesamaan pemahaman keagamaan dengan hasil survei dan penelitian di atas”.

 

Padahal, para manajer program Aprida Sondang dan Hafizen, memberi tema kegiatan "training dan lokakarya guru Pendidikan Agama Islam untuk penanggulangan intoleransi dan radikalisme dari sekolah "Toleran Guruku, Damai Indonesiaku”. Tentu kata-kata seperti intoleransi dan radikalisme di sekolah akan jadi pertanyaan para guru.

 

"Bagaimana kalau guru-guru yang saya jumpai dan dijadikan peserta kegiatan adalah guru yang memiliki pemahaman intoleran,” tanya saya kepada Aprida dan Hafizen kala itu. "Ya betulan malah, bagus. Nanti pada kegiatan itu akan diskusi dan menghadirkan kiai top, Kiai Abd. Moqsith Ghazali,” jawab Hafizen kala itu. Akhirnya saya mantap.


Antusias

Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan, Ketua MGMP PAI SMA dan SMK Provinsi Jawa Tengah akhirnya bersepakat untuk mengirimkan peserta sejumlah total 35 orang. Kegiatan yang berlangsung 18 hingga 20 Desember 2017 bertempat di Hotel Amanda Hills Bandungan, Kabupaten Semarang.

 

Antusias guru terhadap kegiatan itu luar biasa. Para guru yang tergabung berasal dari Brebes, Kendal, Kota Semarang, Jepara, Demak, Purwodadi, Magelang, bahkan dari Sragen. Rata-rata mereka berangkat mengendarai sepeda motor.

Bulan Desember kala itu. Curah hujan tinggi, cuaca di kaki Gunung Ungaran pun cukup dingin. Bahkan sesekali berselimut kabut. Nyatanya, hawa dingin tak berbanding lurus dengan suhu kegiatan di kelas. Tetap hangat, bahkan sesekali memanas.

 

Suasana kelas yang hangat; pertanyaan, sanggahan, dan kritik sudah muncul sejak awal kegiatan dimulai. Namun semua itu sudah diduga. Sejak para peserta mengisi form registrasi, sudah banyak yang "rumpi tipis-tipis” mempertanyakan apa tujuan kegiatan, siapa pelaksana kegiatan, kok tidak ada logo pemerintah-Kemenag dan lain sebagainya.

 

Raut wajah yang mulanya tegang sedikit renggang setelah yang membuka kegiatan ada perwakilan dari Kanwil Kemenag Jateng dan Dinas Pendidikan Provinsi Jateng. Terlebih, ketika kedua perwakilan pemerintah itu kemudian membuka dan mendukung kegiatan secara penuh.

 

Pembukaan selesai. Sesi per sesi materi dimulai. Sesi pertama di awali dengan pemaparan hasil riset tentang Rohis, potensi intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Selesai sesi ini, "rasan-rasan” tentang apakah survei akurat atau tidak, siapa yang di survei, di danai siapa, dan sebagainya mulai bermunculan.

Sesi kemudian dilanjutkan sharing pengalaman di masing-masing sekolah tentang Rohis. Pada sesi ini mayoritas guru mengatakan "sekolah kami baik-baik saja”. Namun, mimik muka dan nada bicara yang tidak los, menggambarkan seolah ada "ketakutan” kondisi Rohis sesungguhnya terungkap di forum.

 

Meskipun demikian, ada juga yang terus terang tentang kondisi sesungguhnya. Bahkan, ada yang bercerita tentang pengalamannya mengintip kegiatan "pembaiatan” Rohis hingga jam 2 dini hari. Materi-materi yang disampaikan pada pembaiatan juga dinilainya cukup ngeri. "Sekelas anak SMA diberikan pemahaman tentang negara kafir-thogut dan semacamnya”.

 

Sangsi "Indikator” Intoleransi

Puncaknya, ketika materi tentang "guru memahami nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan dalam Islam selesai. Pemateri pada sesi ini Kiai Abdul. Moqsith Ghazali yang merupakan pengurus komisi kerukunan antarumat beragama MUI.

 

Kiai Moqsith, begitu sapaannya, menjelaskan tentang toleransi, saling menghargai, dan perdamaian antar agama dengan sangat titis dan detail. Dengan gaya ceramahnya yang ala-ala kiai, menjadikan mudah dipahami dan kondisi forum sedikit rileks. Satu dua ayat disampaikan lengkap dengan tafsirnya secara gramatikal. Inilah yang kemudian para guru manggut-manggut.

 

Kondisi pelatihan semakin dinamis pasca sesi ini. Ada beberapa guru yang balik kanan. Alias tidak melanjutkan pelatihan dan tanpa pamit panitia. Alasan formalnya "ada kepentingan yang tidak bisa ditunda”.

 

Saat itulah saya berterima kasih pada tim dokumentasi yang sempat mengabadikan semua peserta. Akhirnya, saya dapat melihat beberapa peserta yang tak dapat melanjutkan pelatihan lewat foto dan video.

 

Pada sela-sela sesi hari kedua, saya nimbrung bersama kumpulan para guru. Di taman depan aula pelatihan saya mendengarkan baik-baik percakapan mereka. Pada intinya, mereka masih sangsi, ragu, bahkan tidak yakin dengan hasil survei WF. "Indikatornya apa intoleransi itu? Jangan-jangan kita semua masuk kategori intoleransi,” begitu kira-kira obrolan sesama peserta kala itu.

 

Bahkan ada pertanyaan terlontar yang hemat saya lebih konyol. "Kalau siswa kita, yang beragama Islam sekolah di sekolah atau yayasan milik non-Muslim, mereka tidak mendapatkan pelajaran agama Islam. Apa mereka juga intoleran?” tanya salah satu peserta kepada peserta lainnya. "Nah, betul itu. Banyak juga kan siswa Muslim yang sekolah di yayasan non-Muslim,” jawab sesama peserta.

 

Pertanyaan soal indikator intoleransi pun masih terlontar di forum kala sesi Hairus Salim dari Yogyakarta saat mengisi pelatihan. Dengan penjelasan yang panjang, Hairus Salim mencoba menggambarkan intoleransi dalam bentuk tindakan yang kerap muncul lengkap disertai dengan contoh-contohnya. Penjelasan Hairus tampak diterima peserta.

 

Sesi demi sesi dilalui. Banyak dinamika terjadi selama pelatihan. Meskipun tidak dapat merangkum dengan persis, setidaknya saya bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Utamanya dari sisi cara pandang, para guru sudah lebih terbuka dan semakin sadar pentingnya untuk merawat dan menjaga organisasi Rohis di sekolah.

 

"Kadang, yang mengisi materi di kegiatan-kegiatan Rohis itu bukan guru agama. Bahkan, guru agama itu tidak diberi tahu. Mereka mendatangkan narasumber dari luar sekolah. Kita juga tidak tahu siapa mereka dan identitas keagamaannnya. Dulu pernah ada tim densus ke sekolah, kabarnya ada seseorang yang masuk jaringan teroris mengisi acara. Kita juga kaget, semua kaget,” kata salah satu perseta pelatihan.(Ceprudin)

Bagikan Artikel: