Kembali
Cerita Peserta GDSP V: Menyulam Benang Toleransi dalam Kunjungan Rumah Ibadah
Ditulis : Admin
Jumat, 19 Januari 2024
Jakarta - Gus Dur School for Peace (GDSP) merupakan program pelatihan untuk anak muda yang diinisiasi oleh Wahid Foundation dengan tujuan mencetak aktor-aktor perdamaian baru yang berbasis pada nilai dan gerakan yang diperjuangkan KH Abdurrahman Wahid.
Pada 6-7 dan 14-15 Januari 2024, Wahid Foundation dengan dukungan Mission 21 (M21) menyelenggarakan GDSP Batch V secara virtual yang diikuti oleh 33 peserta di seluruh Indonesia. Selama 4 sesi pertemuan tersebut, peserta mengikuti setidaknya 10 materi tentang kesetaraan, toleransi, pemberdayaan perempuan, dan tugas kunjungan ke rumah ibadah.
Muhammad Iqbal Akmaludin, salah satu peserta GDSP menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan banyak pengetahuan selama mengikuti GDSP khususnya terkait kebhinekaan dan toleransi. Hal yang paling mengesankan bagi Iqbal adalah ketika ia melaksanakan tugas untuk berkunjung ke rumah ibadah.
“Yang paling saya rasakan adalah praktek kunjungan ke rumah ibadah. Saya berkunjung ke Gereja Katolik di Labuan Bajo. Kegiatan ini menjadi perantara yang bisa menjembatani saya dengan orang non-muslim,” kata Iqbal.
Iqbal saat ini tinggal di Labuan Bajo dan mengabdi di Nahdlatul Ulama, sebelum mengikuti GDSP Iqbal menjalin hubungan dengan masyarakat non muslim hanya sebatas formalitas saja, namun setelah ia berkunjung ke salah satu Gereja Katolik disana, ia kemudian dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan masyarakat sekitar yang mayoritas non muslim tersebut.
“Saya benar-benar mendapatkan pengalaman dan meningkatkan kesadaran kebhinekaan dan rasa toleransi saya. Hal ini sungguh memberikan pengalaman luar biasa bagi saya yang selama ini hidup dalam mayoritas muslim di Tasikmalaya dan hanya belajar toleransi melalui tulisan,” demikian Iqbal menggambarkan pengalamannya saat berkunjung ke Gereja.
Selain pengalaman di lapangan, Iqbal juga mengatakan pelatihan GDSP Batch V ini dirasa sangat maksimal meskipun dilaksanakan secara daring. Hal ini dikarenakan kendati tidak bertatap muka secara langsung, namun fasilitator dapat membawa para peserta dapat berinteraksi dengan baik.
“Walaupun online, karena setiap peserta dapat bekerja sama dengan baik dan sangat kompak maka chemistry kami sangat terasa, dan ketika ada tugas kelompok juga kita tidak merasa terbebani,” kata Iqbal.
Pengalaman serupa juga disampaikan oleh peserta GDSP asal Pasuruan, Lika Nurut Tamami, pada tugas lapangan, Lika melakukan kunjungan ke Pura dan Klenteng yang ada di Kabupaten Pasuruan. Kunjungan tersebut menurut Lika memberikan refleksi baru bagi dirinya terkait toleransi di masyarakat.
“Pola tugas mandiri yang diberikan Wahid Foundation ini memberikan refleksi baru bagi saya. Kunjungan mandiri ini membuat kita berani dan lebih santai dalam bertanya kepada penanggung jawab rumah ibadah yang kita kunjungi,” kata Lika.
Dari segi materi, Lika mengaku mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam, khususnya tentang kekerasan terhadap perempuan yang saat ini banyak terjadi di Indonesia.
“Meskipun kita belajar secara online, tapi saya merasa paham dengan materi yang disampaikan, saya juga merasa sangat terbantu dengan materi-materi yang update sesuai dengan isu-isu terkini yang kita alami di Indonesia saat ini,” ujar Lika.
Saat ini, Lika adalah salah satu fasilitator Forum Anak Pasuruan yang fokus dalam pendampingan pada hak-hak anak dan perempuan di Pasuruan. Sehingga materi yang ia dapatkan di GDSP sangat membantu aktivitasnya di komunitasnya.
“Jadi materi GDSP sangat membantu, sehingga saya antusias sekali dalam mengikuti materinya,” ungkap Lika.
Bagikan Artikel: