Kembali

Perempuan yang Bertoleransi dan Berempati

Ditulis : Admin

Rabu, 13 Desember 2017

Kenapa saya menjuruskan kata toleransi dan empati dengan subyek perempuan?

 

Jawaban utama karena saya perempuan, jadi (mungkin) saya mengerti bagaimana perempuan. Alasan ke-2 karena dari 262-jutaan populasi penduduk Indonesia, terdapat populasi perempuan yang cukup banyak. Saya memfokuskan pada populasi perempuan usia sangat produktif dan produktif. Berdasarkan website Databoks tanggal 21 April 2017, proyeksi BPS tahun 2016, jumlah perempuan usia sangat produktif (15-49 tahun) sebesar 69,4 juta, lebih sedikit dibanding laki-laki yang mencapai 70.4 juta jiwa. Sedangkan jumlah perempuan produktif (50-64 tahun) sebesar 16,91 juta, lebih banyak dibanding laki-laki yang mencapai 16,9 juta jiwa. Dengan populasi sebanyak ini, maka peran perempuan terkait toleransi dan empati akan sangat berdampak.

 

Saya akan lebih menyempitkan lagi pada populasi perempuan usia sangat produktif (15-49 tahun) dan produktif (50-64 tahun) dengan pertimbangan bahwa pada rentang usia tersebut, pola pemikiran perempuan akan sudah sangat terasah dan terlatih dalam menentukan keputusan dan mengambil sikap yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Rentang usia tersebut (seharusnya) perempuan sudah dalam proses pendewasaan diri menuju pribadi yang bijaksana dan membawa aura yang menenangkan dan mendamaikan. Pada rentang usia tersebut juga perempuan banyak melakukan aksi dan interaksi, karenanya perempuan bisa membawa pengaruh sebagai hasil aksi dan interaksinya tersebut. Pengaruh untuk bertoleransi dan berempati dengan sesamanya.

 

Saya akan memyempitkan lagi aksi dan interaksi perempuan dalam timeframe jaman now, jaman digital, jaman medsos yang sekarang sedang kita jalani dan hidupi ini. Perempuan rentang usia sangat produktif dan produktif yang melek digital dan terjebak dalam pusaran arus kekinian adalah perempuan perkotaan, yang notabene sudah mengenyam pendidikan cukup tinggi. Jika kita amati peran perempuan perkotaan yang berpendidikan di medsos, maka kita akan menemukan banyak sekali pertentangan antar perempuan yang saling bersikukuh dengan pemikiran dan pendapatnya masing-masing.

 

Setiap bulan April, tepatnya pada peringatan Hari Kartini, kita akan selalu melihat pertentangan antara kubu perempuan yang setuju dengan peringatan Hari Kartini untuk menghormati jasa Ibu Kartini memperjuangkan hak perempuan atas pendidikan, di ujung yang berbeda ada kubu yang selalu mempertanyakan kenapa Kartini, padahal Kartini hanya menulis saja bahkan tidak mengangkat senjata, kenapa bukan Dewi Sartika atau Cut Nyak Dien atau perempuan pejuang lainnya.

 

Pada lain kesempatan, medsos akan menyuguhi kita tontonan adu kegilaan atas label perempuan paling sempurna, antara kubu perempuan sebagai ibu rumah tangga dengan kubu perempuan sebagai ibu yang bekerja di luar rumah. Lain waktu lagi, kita akan melihat pertunjukkan perebutan kedudukan perempuan paling suci, antara kubu perempuan berhijab dengan kubu perempuan tidak berhijab.

 

Lain waktu lagi, ada pertentangan antara kubu perempuan yang sudah menikah dengan perempuan yang masih single. Di antara semua pertentangan epik para perempuan ini, saya termasuk yang terjebak di dalamnya karena memilih untuk tidak memilih keberpihakan, hahahah…

 

Satu pertanyaan yang sering membuat saya heran adalah, kenapa itu semua harus dipertentangkan? Kenapa sebagai sesama perempuan tidak bisa berempati dengan pilihan perempuan lain? Kenapa sebagai sesama perempuan tidak  bisa bertoleransi terhadap perempuan lain? Perempuan dewasa berpendidikan (semestinya) memiliki mindset yang sangat terbuka untuk bisa menerima pendapat orang lain dan menelaahnya dengan bijaksana untuk kemudian menarik benang merahnya.

 

Perempuan dewasa berpendidikan (semestinya) bisa menghargai dan menghormati arti sebuah pilihan, bahwa hidup adalah pilihan, dan karenanya bukan menjadi hak kita menghakimi orang lain atas pilihannya. Muara dari semua itu, maka (semestinya) perempuan dewasa berpendidikan bisa bertoleransi dan berempati terhadap perempuan lain.

 

Saya pribadi sangat menghormati dan menghargai para pejuang perempuan Indonesia, siapapun dan di manapun dia berada dan mengabdikan hidupnya berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini dengan caranya masing-masing. Jika kemudian kenapa Kartini, saya juga tidak tahu pasti jawabannya, tapi menurut saya mungkin karena Kartini berjuang dengan cara yang berbeda. Kartini berjuang melalui tulisan, buah pemikiran Kartini yang dituangkan dalam tulisan itu tak lekang oleh waktu, dan bahkan menembus ruang waktu karena hingga saat ini masih tetap relevan untuk dibaca.

 

Jika Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan supaya perempuan mendapatkan pendidikan yang setara dengan lelaki, bukan agar perempuan bisa “menguasai” lelaki, tetapi lebih karena agar ketika perempuan berpendidikan maka dia akan bisa mendidik anaknya menjadi generasi yang jauh lebih baik, selain itu ketika perempuan berpendidikan maka dia akan bisa menjadi teman diskusi setara bagi pasangannya, bukan hanya sekedar “konco wingking”.

 

Peran perempuan sebagai ibu dan peran perempuan sebagai pekerja, bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Masing-masing pilihan mengandung resiko dan konsekuensi. Saya yakin, setiap perempuan yang sudah menentukan pilihannya sebagai ibu rumah tangga atau sebagai ibu yang bekerja, (seharusnya) sudah sangat paham dengan segala konsekuensinya dan bertanggung jawab atas itu. Menurut saya, semua pilihan itu mulia dan terhormat, sejauh dilakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas dengan tidak meninggalkan apa yang menjadi kodrat hakiki seorang perempuan. Ketika kita mempertentangkan hal ini, maka kita sudah menjadikan diri kita sebagai obyek, bukan subyek atas diri kita. Saya sih tidak mau dimanipulasi oleh kepentingan orang lain. Entah dengan Anda.

 

Demikian pula dengan pilihan berhijab atau tidak, menikah atau single. Itu adalah pilihan personal sehingga merupakan ranah pribadi seseorang dan hanya berhak diputuskan oleh orang tersebut karena dia yang akan bertanggung jawab atas konsekuensi dan resiko dari pilihan tersebut. Sama sekali bukan hak kita untuk menghakimi orang lain atas pilihannya. Setiap orang bisa berbahagia dengan pilihannya masing-masing. Maka, akan lebih bijaksana jika kita tidak munafik dengan menghakimi orang lain, tapi kita lupa membenahi diri kita sendiri. Kita sibuk melihat semut di ujung lautan sampai gajah di depan mata kita pun terlewatkan.

 

Coba kita bayangkan, dengan potensi populasi perempuan berpendidikan usia produktif yang cukup banyak, jika semuanya bisa berpikiran terbuka dan bijaksana serta dewasa dalam bersikap, sehingga kemudian antar perempuan akan saling bertoleransi dan berempati, alangkah damai dan indahnya dunia ini. Sesama perempuan akan bisa saling mensupport dan mendukung, betapa damainya medsos kita. Tidak akan ada lagi caci-maki dan penghakiman, tidak akan ada lagi kata-kata kasar, dan yang lebih terpenting akan terbentuk aura positif dalam diri perempuan. Maka, kita akan bisa memastikan bahwa di tangan kita, anak-anak kita akan tumbuh dengan pengaruh positif sebagai bekal mereka membentuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.

 

So, what we are waiting for? Be tolerate and emphatic women, so the world will be so much better. Hopefully. 

Penulis: Dewi Kirana

Bagikan Artikel: