Kembali

Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation Bicara Strategi Indonesia dalam Mengatasi krisis Iklim di COP27

Ditulis : Admin

Jumat, 11 November 2022

Diretur Wahid Foundation, Yenny Wahid ikut serta dalam Conference of The Parties ke-27 (COP27) yang dilaksanakan di Kota Syarm El Syeikh, Mesir.

COP27 adalah konferensi di mana pemerintah negara-negara dunia berkumpul untuk membahas strategi untuk mengatasi krisis Iklim. konferensi ini dilaksanakan secara tahunan untuk menindaklanjuti Paris Agreement 2015 di mana negara-negara di dunia berkomitmen untuk bersama -sama menahan laju kenaikan suhu rata-rata global 1,5'C.

Paris agreement ini memuat ketentuan mengenai Kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang diharapkan akan diimplementasikan pada tahun 2020.

Dalam forum tersebut, Yenny Wahid menjadi salah satu narasumber dalam sesi panel bertajuk Promoting Local Wisdom in Achieving Indonesias FOLU Net Sink 2030 di Pavilium Indonesia pada COP27 UNFCCC, Senin, (07/11/2022).

Yenny menyoroti strategi Indonesia dalam pengendalian krisis iklim. Menurutnya, kearifan lokal dinilai dapat berkontribusi dalam pengendalian iklim global. Kearifan lokal menurutnya juga bisa menghadirkan solusi pengelolaan hutan lestari, sehingga berperan penting dalam pelaksanaan Indonesia Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030.

Yenny Wahid mengatakan, inisiatif Indonesia untuk melaksanakan agenda FOLU Net Sink perlu mendapat dukungan dari semua pihak. FOLU Net Sink 2030 adalah kondisi di mana tingkat penyerapan gas rumah kaca (GRK) di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) lebih tinggi atau setidaknya seimbang dibandingkan emisinya.

Persetujuan perhutanan sosial, termasuk hutan adat, menjadi salah satu pilar untuk mencapai target FOLU Net Sink, yaitu tingkat emisi GRK sebanyak minus 140 juta ton setara karbondioksida (CO2e).

"Sebuah apresiasi untuk masyarakat adat yang mengelola hutan adat, karena mendukung operasional FOLU Net Sink," kata Yenny.

Apalagi, lanjut Yenny, praktik-praktik pengelolan hutan adat dan perhutanan sosial lainnya juga memberi manfaat yang luas bagi masyarakat. Skema perhutanan sosial sudah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1970-an dengan melibatkan masyarakat di sekitar hutan dan kaum wanita. Perhutanan sosial menjadi salah satu solusi untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan penyelesaian konflik tenurial hutan.

Dia menegaskan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan akses hukum kepada mereka yang bergantung pada sumber daya hutan di lebih dari 12,7 juta hektar kawasan hutan melalui berbagai skema perhutanan sosial, seperti hutan rakyat, hutan desa, pertanian masyarakat dan hutan adat.

Pemerintah Indonesia menurut Yenny, berupaya menempatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai pusat dari rencana FOLU Net Sink 2030 dalam bentuk penerapan perhutanan sosial, karena program perhutanan sosial telah dilaksanakan secara besar-besaran di Indonesia

Skema perhutanan sosial kemudian digenjot di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk dikelola dengan skema perhutanan sosial.

Persetujuan pengelolaan yang diberikan KLHK kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial di antaranya adalah Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat, dan kemitraan. Khusus untuk hutan adat, berdasarkan Putusan MK No 35 tahun 2021 menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.

Bagikan Artikel: