Kembali

ISIS, Generasi Klik dan Literasi Media

Ditulis : Admin

Rabu, 18 Mei 2016

Kebiadaban yang dipertontonkan ISIS, salah satunya di Paris belum lama ini, menyakiti siapapun yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Dunia bertanya, benarkah apa yang dilakukan ISIS cermin ajaran Islam? Para pegiat Islam damai dan mereka yang waras berupaya menegaskan Islam bukan agama teroris, Islam agama kedamaian, Islam menolak kekerasan dan radikalisme. Sementara itu, sekolompok orang bersorak bersyukur, karena tragedi Paris telah melenyapkan sejumlah orang kafir dari muka bumi. Dan perbuatan itu dianggap sebagai jihad serta para penembak itu adalah mujahid.

 

Gamal al-Banna menyoroti kerancauan pemahaman antara jihâd dan qitâl. Menurutnya ayat-ayat yang berkaitan dengan tema jihad kerap kali mereka lepaskan dari konteks yang melatarbelakangi pembentukan ayat-ayat tersebut. Menganggap bahwa kalimat jihâd dan qitâl adalah dua kalimat sinonim yang memiliki satu makna yang sama, atau paling tidak berdekatan, dengan tidak lagi meneliti kembali kandungan makna sebenarnya. 

 

Selain itu, mereka tidak memahami bahwa qitâl dalam Islam bukanlah ditujukan untuk mencari harta rampasan perang, sektarianisme, atau rasisme, sebagaimana mereka juga kurang memahami makna jihâd sebenarnya. Mereka juga salah dalam memahami tujuan di balik diperbolehkannya melakukan qitâl, yaitu demi menangkal serangan dan menjaga diri dari fitnah, tapi mereka ganti dengan pemahaman qitâl sebagai alat untuk menyebarkan akidah dan usaha meng-Islam-kan semua umat manusia di dunia. Kita juga tak menutup mata pada peran para ulama yang telah memberikan arti qitâl kepada kata-kata jihâd, dengan diikuti fatwa mereka bahwa jihâd adalah qitâl. 

 

Sayangnya pemahaman serupa itu banyak tersebar terutama di dunia maya. Sayangnya lagi, seiring perkembangan teknologi, konten-konten bermuatan paham radikalisme dengan mudah dan terus menerus dibagikan. Di era serba klik, gampang saja tulisan-tulisan yang bersumber dari web tersebar secara viral di Facebook, Twitter, grup WhatsApp dan lain sebagainya. Boleh jadi mereka menyebar konten-konten itu atas nama solidaritas atau dakwah atau amar maruf nahi munkar. Suatu hal yang mereka lakukan dengan sadar dan sukarela. 

 

Daru Priyambodo, Jurnalis Tempo, memberi istilah clicking monkeys untuk para penyebar ini. Mereka adalah orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk membroadcast hoax ke sana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di media sosial. Mereka seperti kumpulan monyet riuh saling melempar buah busuk di hutan. Sialnya, monyet-monyet ini seperti tak kenal lelah. Terus saja mereka melempar-lempar buah.

 

Sering kali, web-web radikal menggunakan judul-judul yang provokatif yang membuat sejumlah orang gatal tangan dan terpancing untuk membaca dan membagikan. Padahal, antara judul dan isi tulisan kadang tidak sama. Tak jarang isi tulisan mampu menyulut kebencian. Rusmulyadi pernah meniliti tiga media Islam online, yakni arrahmah.com, voa-islam.com dan hidayatullah.com. Ia ingin melihat bagaimana tiga media itu mengonstruksi dan mengemas pemberitaan seputar konflik keagamaan di Indonesia dalam kurun waktu 2011 hingga awal 2012. Hasil riset Rusmulyadi menyatakan bahwa dalam melakukan pewartaan atau membuat berita konflik keagamaan, ketiga media online tersebut telah melakukan pembingkaian (framing) yang cenderung vulgar, sarkas, dan provokatif.

 

Menghadapi merebaknya situs-situs Islam radikal, pemerintah beberapa bulan silam memilih blokir sebagai solusi. Pemblokiran menuai pro-kontra. Mereka yang tidak sepakat dengan pemblokiran menganggap pemblokiran sebagai pengingkaran atas kebebasan berpendapat (freedom of speech). Bahkan tindakan tersebut disamakan dengan laku represif pemerintah pada masa orde baru, ketika sejumlah media diberedel lantaran ‘tidak sejalan’ dengan pemerintah. 

 

Adapun mereka yang sepakat dengan pemblokiran melihat keputusan pemerintah ini sebagai satu langkah tepat. Menurut mereka, pemerintah dalam upaya mencegah berkembangnya bibit terorisme memang perlu memantau ketat dan mengantisipasi penyebaran informasi provokatif dari kelompok-kelompok garis keras, terutama melalui dunia maya. Mereka menegaskan, hate speech (penyebarluasan kebencian) tidak bisa ditolerir. Kebebasan bagi mereka tetap memiliki batas. Situs yang diblokir disinyalir kerap melabeli kafir pihak lain, menyebarkan fitnah, dan mendukung Islam garis keras.

 

Saya rasa pemblokiran bukan solusi cantik. Bukankah kebebasan berpikir, menyatakan pendapat dan berkespresi dijamin undang-undang? Selain itu, jika menilik karakteristik internet, pemblokiran menjadi sia-sia karena selalu ada celah di balik teknologi siber. Apabila satu pintu tertutup, terdapat pintu-pintu lain yang dapat dimanfaatkan. Lebih bijka kiranya, respon atas situs-situs radikal adalah dengan membuat situs-situs berpaham moderat, atau penguatan kembali situs-situs Islam damai. Sehingga, muncul alternatif pemikiran mengenai Islam yang memperkaya perspektif khalayak. Sederhananya, konten dilawan konten.

 

Hal lain yang penting dilakukan adalah penguatan literasi media. Khalayak perlu diberi pemahaman yang baik dalam berinternet. Misalnya, mereka diberi pemahaman untuk membaca dengan teliti sebelum membagikan sebuah tulisan. Menghindari membagikan hoax, fitnah dan tulisan provokatif. Literasi media bisa dikemas dengan cara-cara menarik dan kekinian dengan menyambangi sekolah-sekolah dan dikemas dalam format stand up comedy misalnya. Mengingat yang paling rentan terpapar konten-konten kelompok radikal adalah generasi muda, yang kadang masih labil.

 

Data yang perlu diketahui: pengguna internet di Indonesia terhitung sejak 30 Juni 2014 adalah sebanyak 71.000.000 pengguna atau 28,1 % dari jumlah penduduk Indonesia (sumber: www.internetworldstats.com). Indonesia menempati urutan keempat pengguna internet terbanyak, berada di bawah China, India dan Jepang. Adapun menurut survey APJII, pada tahun 2014, hampir setengah dari pengguna internet di Indonesia (49%) adalah anak muda usia 18-25 tahun dan 85% penguna internet mengakses internet dengan mobile phone.  

 

Jika merujuk pada Teori Generasi, kita mengenal istilah Generasi Z atau generasi internet. Generasi ini lahir tahun 1995-2010 yang memiliki ciri di antaranya menggemari teknologi informasi dan mudah mengkases informasi. Mereka juga terbiasa berinteraksi dengan banyak orang melalui sosial media. Selain itu, mereka kerap melakukan pekerjaan secara multitasking. Inilah generasi yang paling banyak menggunakan internet di Indonesia. 

 

Berkaca pada masifnya pemanfaatan internet, web Islam ramah/ moderat seharusnya juga bisa tampil populer, kreatif dan solid berjejaring. Pegiatnya juga mesti lebih militan. Ini upaya menangkal masuknya ISIS atau kelompok-kelompok teroris dengan nama Islam lainnya ke Indonesia. Pemikiran-pemikiran bermuatan paham Islam radikal  dilawan dengan “cara cantik” baik secara cara online dan offline. Jika dibiarkan, tulisan-tulisan kaum radikal akan jadi pupuk yang menyuburkan kebencian dalam dada orang-orang yang tertutup mata batinnya.

 

Oleh: Zakky Zulhazmi, Pascasarjana UIN Jakarta, penulis buku Propaganda Islam Radikal di Dunia Siber

 

Artikel ini dimuat di arrahmah.co.id sebagai bagian dari Program Sindikasi Media Wahid Foundation.

Bagikan Artikel: