Kembali
Kelas Inisiator Perdamaian: Orang Muda Bima Siapkan Narasi Alternatif untuk Perdamaian Berkelanjutan
Ditulis : Admin
Senin, 24 Maret 2025

Bima, 17–19 Maret 2025 – Dalam upaya memperkuat peran anak muda sebagai agen perdamaian, Wahid Foundation bersama UN Women, La Rimpu, dan LP2Der, dengan dukungan Korea International Cooperation Agency (KOICA), menyelenggarakan Kelas Inisiator Perdamaian (KIP) di Kota Bima.
Mengangkat tema “Orang Muda, Narasi Alternatif, dan Perdamaian”, pelatihan ini diikuti oleh 35 orang muda dari empat desa di Kabupaten Bima (Roi, Rato, Samili, Ncera) dan tiga kelurahan di Kota Bima (Penatoi, Dara, Paruga). Program ini bertujuan membekali generasi muda dengan keterampilan membangun narasi alternatif yang mendorong perdamaian, kesetaraan gender, dan partisipasi aktif di komunitas mereka.
Membangun Perdamaian dengan Nilai dan Analisis Kritis
Hari pertama pelatihan memperkenalkan Sembilan Nilai Keutamaan Gus Dur sebagai fondasi narasi perdamaian. Nilai-nilai ini dinilai relevan dengan konteks sosial di Bima, khususnya dalam mengubah konflik destruktif menjadi perubahan yang konstruktif.
“Semakin kita menginternalisasi nilai-nilai ini, semakin besar potensi kita untuk mendorong perubahan positif,” ujar Rizkiana, Knowledge Management dan Leader Empowerment Program Coordinator Wahid Foundation.
Peserta juga mempelajari teknik analisis konflik serta bagaimana konflik dapat menjadi peluang untuk pertumbuhan bersama. Di sesi berikutnya, peserta dikenalkan pada metode Tangga Partisipasi (Ladder of Participation) untuk mengevaluasi tingkat keterlibatan anak muda dalam pengambilan keputusan di desa atau kelurahan mereka.
“Sering kali, informasi tentang musyawarah desa hanya diberikan kepada tokoh masyarakat tertentu. Jika ingin anak muda terlibat, desa harus lebih transparan,” ungkap Fani, peserta dari Desa Roi.
Kesetaraan Gender dan Tantangan Sosial Lokal
Hari kedua fokus pada isu gender dan konstruksi sosial. Melalui metode Body Mapping, peserta mengeksplorasi persepsi mereka tentang peran gender dan bagaimana stereotip terbentuk dalam masyarakat. Diskusi ini diperkuat dengan pemutaran video dokumenter "The Impossible Dream" yang menggambarkan kuatnya sistem patriarki dalam kehidupan sehari-hari di Bima.
“Kesetaraan gender bukan berarti mengambil hak satu pihak, tapi memastikan semua mendapat kesempatan yang sama,” jelas Nurdin, fasilitator dari La Rimpu.
Isu Lingkungan dan Ketangguhan Komunitas
KIP juga menyoroti isu perubahan iklim dan risiko bencana yang menjadi perhatian penting di Bima. Dalam sesi bersama BPBD Kabupaten Bima, peserta diajak memahami pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran lahan.
“Perubahan iklim bukan isu global semata—ini persoalan hidup sehari-hari. Tindakan hari ini menentukan masa depan,” kata Hardiansyah, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Bima.
Narasi Digital dan Aksi Konkret Anak Muda
Hari terakhir, peserta belajar menyusun narasi alternatif melalui media digital dan komunikasi berbasis kearifan lokal. Dalam sesi bersama Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis, peserta dilatih membangun kontra-narasi untuk melawan provokasi, intoleransi, dan hoaks di media sosial.
“Narasi bisa membangun atau menghancurkan komunitas. Kita harus memilih untuk membangun,” tegas Kalis.
Pelatihan ditutup dengan refleksi menggunakan pendekatan Bunga Partisipasi dan simulasi Power Walk untuk menunjukkan bagaimana ketimpangan mempengaruhi akses terhadap peluang dan hak.
Sebagai penutup, peserta menyusun rencana aksi lokal yang akan mereka implementasikan di desa atau kelurahan masing-masing. Kelas Inisiator Perdamaian menjadi langkah awal menuju komunitas yang lebih damai, inklusif, dan tangguh.
Bagikan Artikel: