Kembali

Bersama Circle Indonesia, Wahid Foundation Gelar Learning GEDSI Perspective

Ditulis : Admin

Kamis, 11 Juli 2024

Jakarta - Wahid Foundation menyelenggarakan “Learning GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) Perspectives” bekerjasama dengan Circle Indonesia pada Kamis (11/7) di Aula Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Jakarta. Acara ini diikuti oleh seluruh staff Wahid Foundation serta anggota dan pengurus Koperasi Cinta Damai (KCD). Pelatihan ini fokus pada penguatan perspektif GEDSI dalam perencanaan maupun implementasi program.

 

Kegiatan ini diselenggarakan untuk mendukung pengarusutamaan GEDSI dalam internal organisasi maupun implementasi program. Diharapkan dengan adanya pelatihan ini pengembangan kebijakan Wahid Foundation kian inklusif, mendukung peningkatan kesadaran, dan partisipasi perempuan dalam kepemimpinan, serta aksesibilitas dan pemberdayaan penyandang disabilitas dapat terakomodir baik dalam kebijakan lembaga maupun prinsip kerja organisasi. 

 

Retno Agustin dari Circle Indonesia sebagai fasilitator pada kegiatan ini menyampaikan bahwa dalam pelaksanaan program sangat penting untuk memasukkan aspek GEDSI dari tingkat dasar.

 

“Bahkan dari tools assesment sudah harus kita masukkan aspek GEDSI. Hal ini penting dikarenakan menjadi langkah awal dalam penyelenggaraan program agar nantinya dapat memberikan rasa aman kepada kelompok marginal,” tutur Retno.

 

Menurut Retno, kelompok marginal seperti perempuan korban kekerasan, disabilitas, atau transgender mereka mendapatkan stigma yang bagi mereka tidak mudah mendapatkan akses layanan keadilan.

 

“Sehingga ketika bekerja dengan kelompok seperti itu pendekatan gender saja tidak cukup, karena masih ada kelompok yang masih tertinggal jauh lebih dalam yang kondisinya lebih sulit, seperti misalnya perempuan penyandang disabilitas. Oleh karena itu, GEDSI ini bicara soal kerentanan, hambatan, dan pengucilan,” jelas Retno.

 

Retno menjelaskan bahwa pendekatan GEDSI juga mencakup upaya penciptaan social inclusion  atau penerimaan sosial. Karena menurutnya, kelompok marginal tertinggal karena kondisi sosial tidak menerima mereka dan memberi stigma yang negatif.

 

“Untuk mendorong kelompok ini bisa naik ke permukaan melalui pendekatan dua hal, pertama adalah kerja afirmasi atau pemberian kuota khusus dan kedua adalah mendorong lingkungan bisa menerima,” tutur Retno.

 

Retno menegaskan bahwa tujuan akhir dari pendekatan GEDSI ini adalah kesetaraan dengan membuat kelompok yang tertinggal mendapatkan penerimaan sosial dan mereka bisa mencapai keberdayaannya.

 

“Sehingga ketika kita merancang program yang menggunakan pendekatan policy saja tidak cukup. Mengapa pendekatan GEDSI penting, karena ada kelompok masyarakat yang tidak dapat dijangkau hanya dengan pendekatan yang demikian,” pungkasnya.

 

Diketahui, selama pelatihan peserta berdiskusi tentang pendekatan GEDSI, mengidentifikasi masalah sosial terkait ketimpangan gender dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok marginal, serta mengembangkan strategi dan solusi yang dapat diterapkan dalam implementasi program. Peserta diajak untuk melakukan simulasi serta studi kasus guna memahami lebih dalam penerapan GEDSI dalam konteks nyata. 

Bagikan Artikel: