Kembali

Wahid Foundation bersama Pokja Sekolah Damai Gelar Diskusi Implementasi RAN PE Dalam Sektor Pendidikan

Ditulis : Admin

Selasa, 24 Agustus 2021

Jakarta-Dalam rangka implementasi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Kekerasan di lingkungan pendidikan, Wahid Foundation (WF) bersama kelompok kerja atau pokja sekolah damai melaksanakan diskusi publik dengan tema “Implementasi RAN PE dalam Sektor Pendidikan” yang dilakukan secara daring melalui zoom meeting. Kegiatan yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 7 Agustus 2021 pukul 10.00-11.55 WIB adalah salah satu upaya untuk mensosialisasikan dan mendiskusikan RAN PE tersebut.

Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr. Syamsul Ma’arif Ketua FKTP Jawa Tengah, menjelaskan bahwa masyarakat hari ini mengalami masalah dan tantangan yang sangat serius akibatnya rusaknya mozaik keindonesiaan. Menurutnya, hal ini disebabkan banyak faktor seperti intoleransi, pemikiran-pemikiran fundamentalis-radikalis, dan mudahnya masyarakat terpapar hoaks. Hal ini, menurutnya, menjadi sebab kohesi sosial bangsa memudar.

"Tampak fenomena robeknya mozaik Indonesia. Dan saya katakan ini adalah akibat pudarnya ikatan kohesi sosial. Sumbernya atau faktornya banyak. Di antaranya intoleransi, pemikiran-pemikiran fundamental atau fundamentalis-radikalis, dan bangsa kita ini lebih mempercayai referensi-referensi tidak primer dan bahkan hoaks, yang tentu saja bisa mengancam NKRI.  Inilah, kalau disebut para peneliti, pudarnya ligature atau pudarnya ikatan solidaritas-solidaritas sosial,” ucap Ma’arif saat menjadi pembicara materi Strategi FKTP Jateng dalam Implementasi RAN PE dalam webinar tersebut.

Selain itu, Ma’arif juga menyebut bahwa sekolah belakangan ini ditengarai atau telah diambil oleh alih orang-orang yang bertujuan menyemai nilai-nilai intoleransi yang tidak ramah bagi siswa yang berbeda.

"Bahkan Ditemukan sejumlah 8,9% yang pro kepada khilafah ataupun mendirikan negara baru. Sekarang sekolah ditengarai atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk dijadikan penyemaiana nilai-nilai intoleransi atau nilai-nilai yang tidak ramah bagi siswa yang majemuk dan berbeda,” ungkapnya.

Menurut Ma’arif, hal tersebutlah yang menyebabkan hari ini kita mudah menjumpai sejumlah intoleransi berkembang di sekitar kita, termasuk sekolah. Kasus-kasus intoleransi itu meliputi, misalnya, diskriminasi minoritas, pembatasan-pembatasan ibadah di tempat-tempat tertentu, bullying atau perundungan, munculnya narasi-narasi ketidaksukaan terhadap kelompok lain atau teman-teman yang berbeda di sekolah.

Terkait hal tersebut, Ma’arif mengatakan bahwa FKTP memiliki tiga fungsi dan tanggung jawab untuk menanggulangi hal tersebut.

  1. Melakukan penelitian potensi-potensi radikal atau terorisme di Jawa Tengah.
  2. Melakukan pengembangan potensi-potensi dan kreativitas yang dimiliki oleh generasi muda, generasi millennial, di perguruan tinggi dan sekolah, bahkan bekerjasama dengan guru dan lain sebagainya
  3. Melakukan edukasi kepada seluruh elemen masyarakat, memperkuat literasi, dan memperkuat informasi.

Sementara itu, pembicara lainnya Siti Rofiah dari Peneliti Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dan Anggota Pokja Sekolah Damai Jawa Tengah berbicara terkait Pencegahan Intoleransi Melalui Program Sekolah Damai. Ia menjelaskan bahwa di satu sisi sekolah bisa jadi penunjang atau media yang sangat baik untuk menyemai ideologi kebangasaan untuk memupuk jiwa nasionalisme siswa.  Namun, di sisi lain, sekolah  bisa menjadi virus atau bahaya laten yang bisa menggerogoti tubuh keragaman bangasa jika ancaman intoleransi di ruang kelas  dibiarkan tanpa kontrol.

"Pendidikan sebagaimana yang kita ketahui ini kan selalu berkelindan dengan konteks sosial, budaya, politik, ekonomi. dia tidak berdiri sendiri yang kemudian terlepas dari hal-hal lain di luar itu. Disatu sisi sekolah bisa jadi penunjang atau media yang sangat baik untuk menyemai ideologi kebangasaan untuk memupuk nasionalisme siswa. Tapi disisi yang lain, sekolah itu bisa menjadi virus yang laten atau menyimpan bahaya laten yang tersembunyi yang bisa menggerogoti tubuh keragaman kebangasaan kalau ancaman intoleransi di ruang kelas itu  dibiarkan dan  kian hari kian berkembang,” katanya.

Menurut Rofiah, sekolah adalah tempat yang sangat penting dan paling strategis untuk menyemai nilai-nilai perdamaian dan toleransi. Meski demikian, Sekolah Damai yang telah diinisiasi Wahid Foundation hanya menjadi salah satu dari sekian banyak cara untuk mengurangi semua masalah intoleransi dan kekerasan yang ada di sekolah. Sehingga, perlu ada lebih banyak keterlibatan semua pihak termasuk pemangku kebijakan untuk mewujudkan lingkungan sekolah untuk merdeka dari intoleransi. 

"Jadi karena lingkungan sekolah itu adalah lingkungan yang sangat strategis maka memang sangat penting agar pencegahan intoleransi itu dimulai dari lingkungan sekolah. Program Sekolah Damai ini tentu tidak dapat menyelesaikan semua masalah, karena ini hanya bagian kecil dari usaha melengkapi dan memperkuat berbagai usaha pencegahan intoleransi yang sudah ada. Jadi memang sudah banyak ya. Tapi intoleransi ini tidak hanya disebabkan oleh faktor dan aktor tunggal. Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan tindakan intoleransi itu. Maka penyelesaiannya juga hampir mustahil jika diselesaikan oleh satu pendekatan dan aktor saja. Nah oleh karena itu program sekolah damai ini dihadirkan untuk pelengkap dari upaya-upaya yang sudah ada,” ungkapnya.

Bagikan Artikel: