Persis di hadapan saya, seorang anak muda berdiri bersandar pada pintu komuter. Rambutnya klimis, berkaos lengan pendek, dan bersepatu olahraga.
Lantas apa menariknya? Saban hari ratusan anak muda macam begini kita temui di komuter, jalan raya, mall, dan pusat-pusat keramaian di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Pemandangan lumrah saja seperti melihat orang sembahyang di masjid atau mushalla-mushalla.
Anak muda yang saya temui pagi-pagi Minggu di Stasiun Jatinegara itu mengenakan kaos bertuliskan “selow yai ...” berwarna putih. Hanya itu satu-satunya teks di situ. Jika bukan santri, kemungkinan besar salah seorang keluarganya adalah santri, jika tidak temannya, atau setidak-tidaknya tinggal dan mengenal kehidupan pesantren.
Dengan pilihan kata itu, anak muda ini jelas mewakili satu jenis santri dari, mungkin saja, ratusan jenis dan karakteristik santri yang tersebar di sekujur tanah air. Mungkin ia golongan santri milenial atau santri dari jenis “zaman now”.
Kata “selow yai” bagi kacamata santri “zaman old” bisa jadi semacam “penyimpangan” etika yang ditekankan kitab Ta’lim al-Muta’allim dalam bab penghormatan pada guru. Jangankan komunikasi verbal, komunikasi gestur tubuh jadi perkara penting. Bukan hanya pada kiai, Melihat anak kiai dari kejauhan saja, santri perlu sedikit membungkuk sebagai bentuk penghormatan pada kiai melalui anaknya.
Tapi begitulah. Santri atau komunitas pesantren tak punya wajah tunggal. Membaca santri atau komunitas pesantren secara seragam hanya akan menemukan kekeliruan-kekeliruan.
Meskipun ada kesamaan pola, santri di Jawa Tengah akan berbeda pola dan corak dengan santri di Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, atau luar Jawa.
Sebagai santri “Jakarta” saya tak terlalu akrab dengan istilah “meril”, mar’atul lail. Teman saja yang nyantri di Jombang, paham betul istilah ini. Meril? Cari tahu sendiri!
Saat nyantri di Jakarta, saya biasa menyebut kiai, ketimbang yai. Jadi pilihan kata ini saja menunjukan tradisi yang berbeda.
Ada banyak yang bertanya pada saya atau setidaknya saya dengar pernyataannya, jika sebagai komunitas santri Nahdlatul Ulama dianggap wajah Islam moderat, mengapa muncul kasus-kasus intimidasi bahkan kekerasan oleh masyarakat NU. “Mengapa ada massa NU yang terlibat dalam aksi 212. Apa yang sedang terjadi?” tanya beberapa orang.
Pertanyaan semacam ini jelas menunjukan asumsi awal yang kurang tepat. Bahwa NU dianggap masyarakat yang seragam, padahal komunitas ini begitu bervariasi. Dari yang politik hingga sangat konservatif. Dari yang sangat terbuka, orang menyebut liberal, hingga yang unik dan klenik.
“Saya tak terlalu yakin sekarang ini NU masih moderat. Buktinya, pelaku-pelaku kekerasan dan intimidasi kepada Syiah, Ahmadiyah, dan aliran yang dituduh sesat diindikasikan memiliki amaliah NU,” katanya.
Saya tak akan menampik fakta itu. Saya juga menangkap menguatnya arus konservatisme di tubuh NU, terutama di tubuh kaum muda. Tapi keliru besar jika hanya perkara itu, NU dianggap tidak lagi moderat. Buktinya puluhan juta umatnya tak suka buat keributan.
Justru di sini pentingnya kajian lebih lanjut untuk melihat variasi di tubuh kaum santri dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Mengapa masyarakat NU dapat menjadi konservatif dan melakukan kekerasan, padahal secara umum menunjukan tradisi yang lebih terbuka? Apa bahan baku moderatisme NU dan apa yang dapat merusaknya?
Mengapa ada NU seperti almarhum Gus Dur yang bisa omong macam-macam atau Kiai Sahal Mahfudz yang banyak melihat dari sudut fikih? Mengapa ada orang seperti Mas Ulil Abshar Abdalla atau Gus Yahya Staquf? Mengapa ada NU Garis Lurus, juga Garis Lucu?Kita belum bicara anak-anak muda dari generasi milenial atau anak muda NU yang mirip Muhammadiyah.
Semua pertanyaan ini penting kita jawab untuk mendapatkan pola dan menentukan arah kaum santri di masa depan, juga agar NU tetap ada.
Selamat hari santri
Sebentar lagi Manggarai
oleh; Alamsyah M. Dja'far
Bagikan Artikel: