Kembali

Perkuat Kampanye Islam Damai, Wahid Foundation Bentuk Jaringan Pesantren

Ditulis : Admin

Rabu, 17 Juli 2019

Bogor - Data survei tren toleransi sosial keagamaan Wahid Foundation menunjukkan potensi intoleransi masih cukup mengkhawatirkan. Hasil survei lembaga ini menunjukkan ada 57,1% mereka yang bersikap intoleran terhadap kelompok yang tidak disukai. Sedangkan mereka yang menyetujui ide jihad kekerasan berada pada kisaran 13,2%.

Masih tingginya tingkat intoleransi dan radikalisme ini kemudian diterjemahkan oleh Wahid Foundation berkolaborasi dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI, dalam kegiatan Muslimah for Change Training dan Workshop Komunitas Pesantren. Melibatkan 100 (seratus) alumni dan pengurus pesantren yang berasal dari lima provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Banten.

Penting melihat posisi strategis santri dan aktivis perempuan alumni pesantren dalam pengarusutamaan gender dan pencegahan intoleransi keagamaan. “Selama ini Pesantren dianggap sebagai benchmark dalam pengembangan kehidupan keagamaan di Indonesia,” kata Direktur Ditpontren Kemenag Dr. Ahmad Zayadi.  

Faktor ini tentu punya alasan, lanjut Zayadi, santri tidak hanya belajar banyak mengenai soal ilmu agama tetapi juga tentang kehidupan. Selain itu, model belajar melalui kitab kuning juga turut membentuk karakter pribadi santri. Kitab kuning yang diajarkan di pesantren kebanyakan telah menjadi sub kultur. “Pemahaman dan pendalaman terhadap kajian kitab kuning bukan hanya mewarnai aktivitas intelektual santri tetapi juga pada perilaku kehidupan kemasyarakatan santri,” terang Zayadi.

Pada forum yang sama. Yenny Wahid Direktur Wahid Foundation dalam sambutannya menggaris bawahi tentang peran penting santri sebagai aktor strategis dalam upaya penguatan toleransi dan perdamaian. Menurutnya, santri memiliki kualitas untuk mengisi ruang publik dengan narasi moderasi keagamaan. Terlebih di tengah arus ujaran kebencian yang kian menguat.

“Merespons fenomena remaja saat ini baik intoleransi, radikalisme dan narasi kebencian di dunia maya. Santri harus menjadi pionir dari noisy majority, bukan lagi sebagai silent majority di ruang – ruang publik dengan menyebarkan narasi perdamaian,” jelas putri kedua mendiang Gus Dur ini.

Untuk mewujudkan angan tersebut memang dibutuhkan kerja keras dan kerja sama untuk membangun ketahanan masyarakat damai dan berkeadilan. “Saya yakin dan percaya santri bisa melakukan misi besar itu, kita tunjukan bahwa santri adalah generasi unggulan masyarakat,” pungkas Yenny mengakhiri sambutannya.  

Pertemuan ini sedianya akan berlangsung selama tiga hari, Rabu – Jum’at, 17-19 Juli 2019, di Bogor Valley Hotel. Mengundang beberapa narasumber yang telah lama bergelut dengan isu-isu pengarusutamaan gender, kampanye toleransi dan perdamaian di antaranya Ayu Kartika Dewi Managing Director Indika Foundation dan Co-Founder Sabang Merauke, Nur Rofiah inisiator Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Kalis Mardiasih kolomnis Detik.com, Mojok.co dan penulis buku “Muslimah yang Diperdebatkan,” Irfan Amalee Founder Peace Gen, Tidar Rachmadi Strategic Communication Harmony, Mujtaba Hamdi Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Alamsyah M Dja’far dan Manager Program Wahid Foundation, dan Visna Vulovik Program Development Wahid Foundation. DRK

Bagikan Artikel: