Kembali

Pembaca Instan dan Terorisme

Ditulis : Admin

Kamis, 25 Januari 2018

MILASTRI MUZAKKAR

 

Beberapa waktu lalu, untuk kedua kalinya saya kembali mengunjungi R (deportan remaja yang baru dideportasi dari Turki sebulan sebelumnya) di rumahnya, di salah satu desa di Kabupaten Tangerang, Banten. Sambil mencicipi kue-kue yang dihindangkan ibunya, dengan suasana santai saya menggali lagi apa dan bagaimana cerita R hingga memutuskan berangkat ke Suriah.

 

Sebagai remaja yang sedang dalam proses pencarian arti hidup, mengalami putus sekolah, dan tinggal dalam lingkungan keluarga yang anggota keluarganya terbilang sibuk, R tumbuh menjadi remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Hanya telepon genggam yang menjadi teman akrabnya. Berawal dari kesenangan main game di handphone, lalu terkoneksilah R pada situs berita-berita kelompok terorisme yang terkesan dramatis sekaligus heroik.

 

Di sinilah petualangan R dimulai. Dengan rasa penasaran yang tinggi,  Ia menjadi sering membaca berita di situs-situs jaringan kelompok teroris hingga beberapa bulan kemudian R bergabung  di media sosial telegram kelompok tersebut.

 

“Waktu membaca berita di media sosial, kamu memferifikasi nggak berita itu? Misalnya di situ disebutkan ada ayat dalam Al qur’an yang mengatakan bahwa umat Islam harus berjihad ke Suriah?,” tanyaku pada R.

R menggeleng. “Nggak,” katanya.

 

“Atau kamu membaca buku-buku yang berkaitan dengan berita itu?,” tanyaku lagi.

 

Sekali lagi ia menggeleng. R mengaku sejak dulu tak suka membaca buku jenis apapun.

 

Di akhir obrolan, sambil menunduk, R mengatakan, “Yah gitu deh. Saya dalam masa “pencarian”. Galau. Saya mungkin korban.”

 

Pembaca Instan dan Budaya Instan

 

Dalam pengalaman saya mendampingi deportan, cerita R sebenarnya hampir sama dengan deportan lainnya. Baik dewasa, remaja, bahkan anak. Hampir semuanya menyebutkan mengetahui dan meyakini ideologi terorisme dari hasil pembacaan di media sosial (youtube, facebook, telegram, Instagram, bbm dan whatsapp).

 

Saat ditanya,”Apakah ia mencaritahu atau membuktikan berita itu dengan membaca Alqur’an, hadist atau buku-buku terkait?” Umumnya menyatakan tidak.

 

Adapun sebagian yang menyatakan iya, namun saat ditanya apa persinya? Mereka tak mampu menjelaskan. “Pokoknya ada, saya nggak hafal. Cari aja sendiri,” adalah jawaban yang sering mereka lontarkan.

 

Di sinilah kelemahan pembaca instan. Saya mengartikan pembaca instan sebagai orang yang memutuskan atau meyakini sesuatu tanpa melalui proses pembacaan dan pemaknaan mendalam terhadap apa yang diyakininya.  Mereka lebih senang membaca berita-berita yang terpotong pemaknaannya, tidak komprehensif penjelasannya, dan tentu saja hanya datang dari satu sumber yang sama.

 

Para pembaca instan malas mencari pembanding dari berita lainnya. Alih-alih membaca buku. Mereka juga tidak tertarik mencari tahu dari orang atau kelompok lain sebagai pembanding dari berita yang mereka baca. Sialnya, membaca berita-berita pendek, dramatis, heroik, dan atas nama agama, masih sangat laku di pasaran masyarakat Indonesia. Tak heran jika dari hasil membaca instan itu, masyarakat Indonesia makin banyak yang tergiur bergabung dalam jaringan terorisme bahkan siap menjadi “pengantin” bom bunuh diri atas nama jihad fisabilillah.

 

Mengapa pemberitaan jarigan terorisme begitu kuat memengaruhi masyarakat? Hemat saya, salah satu penyebab utamanya adalah makin banyaknya pembaca instan sekaligus menguatnya budaya serba instan, khususnya bagi masyarakat awam dengan tingkat perekonomian rendah. Dalam mencapai sesuatu, mereka malas berproses. Dalam sekejap, maunya langsung mendapat hasil. Ingin kaya, cukup ikut investasi, tak peduli investasinya benar atau bodong. Atau berangkat ke Suriah sebab di sana dijanjikan kesejahteraan. Kabarnya, di sana semua serba gratis. Mau tampil cakep bak selebriti ternama, mereka rela dioperasi hingga mengonsumsi aneka macam jenis obat. Ingin mendapatkan keberkahan dan masuk surga, cukup berangkat ke Suriah. Jika belum berhasil ke Suriah, minimal melakukan bom bunuh diri di negara sendiri.

 

 

Pentingnya Memaknai Bacaan

 

Membaca tak sekedar membuka buku, koran atau media online lainnya, lalu selesai. Ada proses mengerti, menganalisis, membandingkan, memahami, lalu menyimpulkan makna dari hasil bacaan itu. Ada proses berpikir  di sini. Apa-apa yang kita baca akan disaring oleh logika. Memikirkan  logis-tidaknya informasi itu juga membutuhkan proses. Baik melalui perbandingan peristiwa serupa di masa lalu atau justru membenturkannya dengan kejadian yang sama. Bisa juga dengan memikirkan sebab-akibatnya bagi diri dan lingkungan sekitar.

 

Lebih jauh, membaca sesungguhnya mengajak kita mengolah rasa positif, seperti senang, bersyukur, peduli, simpati dan empati pada lingkungan yang lebih luas. Dengan membaca keindahan alam semesta misalnya, kita akan sampai pada perasaan senang dan bersyukur pada  Sang Pencipta semesta. Sebaliknya, saat menemui lingkungan kotor atau orang yang sedang dalam kesusahan, maka timbul rasa peduli untuk mengubah keadaan itu.

 

Jika ada informasi yang membenarkan bahkan menyerukan pada perilaku yang merugikan diri dan orang lain, logiskah itu? Sejalankah dengan nurani, saat ribuan orang harus meregang nyawa untuk mendapatkan surga bagi diri sendiri? Tidakkah perasaan kita teriris melihat ratusan anak kehilangan orang tua dan masa depannya hanya karena keyakinan yang belum tentu benar? Bisakah kita masuk surga tanpa harus merugikan orang lain?

 

Di situlah pentingnya proses membaca dan memaknai bacaan. Dengan proses pemaknaan hasil bacaan yang mendalam, akan lahir generasi-generasi kritis, cerdas, juga memiliki kepribadian yang luhur. Generasi tipe ini yang dibutuhkan untuk Indonesia yang lebih baik.

 

Sumber foto: https://twitter.com/Indorelawan/

 

Milastri Muzakkar,  Pendiri Generasi Literat

Bagikan Artikel: