Kembali

Membangun Budaya Damai Mulai dari Sekolah

Ditulis : Admin

Sabtu, 3 November 2018

Beragam spanduk bertema perdamaian menyambut kedatangan kami pagi itu (2 Mei 2018) di SMA negeri 1 Sugihwaras. Salah satu spanduk bertuliskan “Sekolah Damai, Menjunjung Tinggi Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Menjaga Ikatan Persaudaraan di antara Sesama Pelajar”. Di Hari Pendidikan Nasional tahun 2018 ini, SMA Negeri 1 Sugihwaras merayakan ulang tahunnya sekaligus melakukan deklarasi Sekolah Damai sebagai awal komitmen SMA Negeri 1 Sugihwaras dalam mewujudkan pengembangan budaya damai di sekolah.

 

Beberapa poin ikrar bersama yang diucapkan seluruh warga sekolah antara lain: menjadikan sekolah sebagai sarana pendidikan yang aman, nyaman, dan toleran; membimbing dan membina siswa dalam pembelajaran dengan kasih sayang tanpa kekerasan; memberikan dan menghargai hak pendidikan semua anak, tanpa memandang latar belakang suku, ras dan agama; menjadi sahabat dalam perbedaan dan keberagaman serta selalu menjaga suasana damai; menjunjung tinggi kedamaian, menghargai perbedaan dan menjaga ikatan persaudaraan di lingkungan pendidikan.

 

“Peresmian dan deklarasi Sekolah Damai ini terinspirasi kegiatan Lokakarya dan Pelatihan Kepala Sekolah dan Guru untuk Pengembangan Budaya Damai di Sekolah yang difasilitasi oleh Wahid Foundation dan AGPAII (Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia) di Surabaya bulan lalu,” ucap Dr. Mokhamad Samsu, M.PdI saat memberi sambutan. Acara ini juga dihadiri berbagai pemangku kepentingan antara lain Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Bojonegoro, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro, Camat Sugihwaras, Kapolsek Sugihwaras dan Danramil Sugihwaras.

 

Deklarasi ini menjadi kado manis bukan hanya bagi ulang tahun SMA Negeri 1 Sugihwaras tetapi juga bagi Wahid Foundation dan AGPAII. Kedua lembaga ini telah memfasilitasi Lokakarya dan Pelatihan Kepala Sekolah dan Guru Pendidikan Agama Islam untuk pengembangan budaya damai di sekolah. Lokakarya yang didukung Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) ini mendorong pengembangan budaya damai di beberapa level. Level kebijakan dan budaya sekolah yang didorong oleh Kepala Sekolah dan level budaya kelas atau belajar mengajar serta kegiatan Rohis yang didorong Guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Lokakarya dan Pelatihan Kepala Sekolah dan Guru Pendidikan Agama Islam ini telah diselenggarakan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 

Pembentukan Sekolah Damai dilatarbelakangi hasil survei Wahid Foundation terhadap aktivis Rohani Islam (Rohis) pada 2016. Sebanyak 86 persen aktivis Rohis di SMA ingin berjihad ke Suriah. Tujuh dari 10 aktivis Rohis ingin berjihad ke Suriah. Sementara itu, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga melakukan penelitian dengan responden guru-guru PAI. Penelitian bertema “Guru Agama, Toleransi, dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan Kontemporer di Indonesia.” Rilis penelitian yang disampaikan Didin Syafrudin, Ph.D ini memiliki temuan 78% responden setuju jika Pemerintah RI berdasarkan syariat Islam dan 77% responden mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.

 

 Hasil-hasil penelitian tersebutlah yang mendorong Wahid Foundation bersama AGPAII dan dengan dukungan AIPJ2 membuat program yang menggandeng sekolah khususnya guru PAI. “Guru menjadi ujung tombak dari perkembangan toleransi beragama di Indonesia,” papar Dr. KH. Abdul Moqsith, Komisi Kerukungan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat mengisi materi di salah satu kegiatan lokakarya guru. Pernyataan itu menekankan pentingnya peran guru PAI yang menjadi salah satu sumber pengetahuan agama anak didik.

 

Pertanyaan dan perdebatan antara peserta dari guru dan kepala sekolah mengenai hasil penelitian memunculkan pro-kontra di semua wilayah ketika forum Lokakarya dan pelatihan dilaksanakan. Tak sedikit peserta mempertanyakan mengapa umat Islam pada hasil survei itu seolah-olah selalu disalahkan atas maraknya fenomena intoleransi. Namun, proses berbagi  pengetahuan dan pengalaman sesama peserta tentang dalam mengawasi kegiatan Rohis, menghadapi siswa-siswi terindikasi terpapar paham radikal dan pengalaman-pengalaman nyata lain di sekolah, membuat menilik kembali kondisi sekolah dan kegiatan Rohisnya. Sebelumnya mereka merasa sekolahnya baik-baik saja. “Saya pernah menguntit kegiatan anak-anak yang di luar jam sekolah, ternyata mereka bisa bikin kegiatan di luar sekolah, Sabtu-Minggu, atau bahkan malam hari. Makanya sebagai guru atau Pembina Rohis jangan sampai kita kecolongan anak didik kita terpapar doktrin yang keliru di luar jam sekolah,” papar Khoiri, salah seorang peserta lokakarya.

 

Program ini dimulai dengan pertemuan lokakarya dan pelatihan guru untuk pengembangan budaya damai, dilanjutkan program pendampingan selama enam bulan. Lokakarya sendiri telah di lakukan pada Maret dan April 2018. Kini, sedang masuk tahap pendampingan. “Setelah dari kegiatan di Surabaya (Lokakarya dan Pelatihan Kepala Sekolah dan Guru PAI--red) saya jadi ngeh siswa-siswa saya yang ikut-ikut kegiatan di luar yang bungkusnya pengajian tetapi disisipi paham-paham yang ke sana,” ujar Nafida, guru PAI SMK N 1 Bojonegoro.

 

Pemahaman baru dan dorongan mengimplementasikan tindak lanjut oleh peserta sudah mulai terasa. Guru PAI SMKN 4 Kendal, Drs. Fahrur, suatu hari mengirim sebuah video ke Staf WF. Video berisi dua orang siswa memimpin doa sebelum kegiatan di kelas secara bergantian. Salah seorang memimpin doa dengan cara Islam, seorang lainnya mempin doa cara Kristen. “Wah itu, anak-anak ada yang nangis loh itu karena terharu. Jadi saya terapkan juga di kelas-kelas lain. Alhamdullilah yang lain juga dukung. Tidak ada pertentangan dengan guru-guru lain,” kata Fahrur ketika bertemu dengan tim WF di kesempatan lain di Jakarta.

 

Saat kegiatan bagi siswa Rohis di Semarang, Aufaa S.Ag, guru PAI yang telah mengajar selama 16 tahun di SMA Negeri 1 Cepiring, sempat bercerita. Sekarang ini ia merasa lebih punya peran sangat penting dalam pengembangan budaya damai. Sebelumnya ia tidak pernah terpikir untuk menyelipkan pesan toleransi dan melibatkan siswa-siswa non-muslim. Sekarang Aufa selalu menyelipkan pesan-pesan toleransi dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan, ia kini sedang merancang kegiatan kunjungan dan dialog rumah ibadah agama lain bersama siswa-siswi Rohis.

 

Di SMA 14 Semarang, Azizah pertama kalinya melibatkan siswa Kristen saat kegiatan Ramadhan Fair. Siswa Kristen, bernama Robert terlibat dalam lomba khutbah yang diadakan organisasi di sekolah. Tak disangka, ternyata Robert mendapat juara pertama. Robert berkata “Saya sangat bangga dan berharap besok-besok akan ada lomba-lomba lain untuk umat Kristiani saat Ramadhan Fair, sehingga kita yang minoritas tidak merasa terisisihkan dan merasa Ramdhan Fair juga milikku.”

 

Karya-karya orisinil siswa berupa poster-poster bertema perdamaian juga mulai tampak di SMA N 10 Semarang. Awalnya tugas membuat poster ini diberikan oleh guru untuk siswa yang dianggap kurang responsif dan tidak ikut di kegiatan ektrakurikuler apapun di sekolah. Mereka diminta untuk menuangkan idenya mengenai perdamaian  dan bagaimana agar terhindar dari intoleransi dan radikalisme ke dalam gambar poster. “Tak disangka, ternyata hasilnya di luar dugaan, kegiatan yang sifatnya “hukuman edukatif” ini membuahkan karya yagn bagus dan menyentuh hati” kata Pak Ahmad Fadlol, guru PAI SMA N 10 Semarang.

 

Program pengembangan budaya damai di sekolah ini, meskipun baru berjalan sekitar lima bulan, tampaknya juga telah dilirik oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama. Di awal program, tim wF mengalami kesulitan bekerja sama dengan pemerintah. Namun, setelah program mulai dilaksanakan dan dialog terus dibangun, program ini akhirnya mendapat rekomendasi Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lebih dari itu, mereka meminta Wahid Foundation memperluas program ini di wilayah Poso, Sulawesi Tengah dan Bima, NTB. “Kita ingin ajak teman-teman NGO juga untuk bekerja bersama, kami sadar bahwa kami sebagai birokrat kadang sering terbentur sistem di internal dan tidak seleluasa teman-teman,” papar Drs. Purwadi Sutatnto, M.Si, Direktur Pembinaan SMA, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

 

Demikian pula di Kementerian Agama dan Kantor Wilayahnya. Pendekatan terus dilakukan melalui AGPAII dan dialog di setiap kali mengundang dalam kegiatan. “Wah, Pak Kabid PAIS (Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur: red) terus mention-mention program kita dan Wahid Foundation di tiap beliau ngisi kegiatan” kata KH Ghozali, DPP AGPAII Jawa Timur. “Bener loh itu Mbak! Kemarin saya ada acara MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) ngundang beliau juga disebut-sebut dalam sambutannya,” tambah Nafida, guru PAI SMK N 1 Bojonegoro. Selain pemerintah daerah, Direkotrat Pembinaan SMA, Kementerian Pendidikan RI juga telah meminta untuk berkolaborasi dengan Wahid Foundation untuk memperluas program ini di provinsi NTB dalam beberapa bulan ke depan.

 

Wahid Foundation berharap pengembangan budaya damai ini terus didukung pemerintah, kepala sekolah, dan guru. Selain it juga terus menular ke peserta didik. Harapannya slogan bijak Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hajar Dewantara bisa terwujud: Ing Ngarso Sung Tulodo (menjadi teladan), Ing Madyo Mbangun Karso (membangun dan memotivasi dari dalam), Tut Wuri Handayani (memberikan dorongan dan arahan).[Aprida Sondang]

 

 

 

Bagikan Artikel: