Kembali

Memahami Aswaja Lewat Paradigma Baru

Ditulis : Admin

Selasa, 24 Mei 2016

Pemahaman terhadap ahlusunnah wal jamaah secara mainstream akan melahirkan pola pikir fanatisme berlebihan. Hal itu disebabkan metodologi yang dipakai masih terpaku pada paradigma lama yang acapkali melakukan pembenaran political will (kehendak politik) lewat dalil-dalil teologis. Walhasil, keinginan untuk mengafirkan satu sama lain tidak dapat dibendung karena antara satu kelompok dengan kelompok yang lain saling mengklaim golongannya lah yang paling benar lewat dalil-dalil teologis yang dikemukakan. 

 

Padahal, lahirnya firqah (lebih tepatnya kelompok politik) yang diramalkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits awalnya merupakan propaganda politik antara kubu tertentu demi menguatkan kekuasaan dan pengaruh politik mereka. Timbulnya kelompok khawarij misalnya yang tidak menyetujui arbitrase karena kecewa lantaran tidak mampu memenangi perang siffin sehingga membelot dari kelompok Ali telah membuat dalil teologis untuk memantapkan ambisi politik mereka: "Laa hukma illallah" dan "wa man lam yahkum bima anzalallah, faulaaika humul kafiruun"

 

Saya pribadi mempunyai penafsiran tersendiri terkait ayat tersebut. Maksudnya adalah bahwa secara kontekstual makna "kafir" pada ayat di atas sebenarnya mengacu kepada "kafir politis" bukan "kafir teologis" yang umum dipahami oleh para kaum puritan. Kafir politis inilah kemudian terbagi menjadi beberapa sub, di antaranya adalah "Kafir Dzimmi, Kafir Mu'ahad, dan Kafir Harbi". 

 

Rupanya rencana kaum khawarij yang mencoba melakukan kudeta terhadap khalifah memicu lahirnya kelompok Syiah yang dengan segala usaha dan upaya ingin mempertahankan eletabilitas Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah. Walau harus diakui pada waktu itu, perpecahan umat Islam hanya berkisar pada pilihan politik semata, namun lambat laun semakin mengkerucut pada pilihan akidah. 

 

Inilah yang kemudian saya kritisi, sekalipun Rasulullah saw dengan jelas mengatakan bahwa sebaik-baiknya masa adalah masa di mana beliau hidup dan masa di mana khalifah hidup. Tetapi dalam perjalanan politik yang dimainkan oleh para sahabat, tidak sedikit dari mereka yang membangun argumentasi politik lewat dalil-dalil teologis yang memicu lahirnya kelompok-kelompok yang pada awalnya konsisten pada wilayah politik, namun pada akhirnya merambah pada wilayah akidah.

 

Dengan demikian dan agar supaya kita tidak terjebak dalam fanatisme berlebih terhadap Ahlusunnah wal Jamaah sebagai sebuah metode berfikir (Manhaj al-Fikr), maka diperlukan sebuah paradigma baru (new paradigm), yaitu menilai ahlusunnah wal jamaah dari dua segi. Pertama dari segi visi, dan kedua dari segi fungsi. Dalam hal ini visi aswaja sebagai wadah untuk mempertahankan ajaran-jaran yg bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah. Sedangkan fungsinya adalah aswaja diharapkan mampu menghentikan laju sejarah umat Islam yang dipenuhi konflik berdarah, perpecahan, perang, dan permusuhan. (Lihat Sejarah Ahlusunnah wal Jamaah, hal. 17). 

 

Untuk mencapai apa yang diinginkan dari paradigma baru yang telah dipaparkan di atas, setidaknya ada tiga langkah yang dilakukan. Pertama adalah penguasaan terhadap ideologi ahlusunnah wal jamaah beserta argumentasi logis dan dalil penguatnya dari beragam teks. Kedua, penguasaan terhadap ideologi aliran orang lain beserta argumentasi yang dikemukakan, juga penguasaan terhadap dalil penguat dari teks yg dibangun. Ketiga adalah mengonfirmasi ulang seluruh informasi, baik argumentasi atau dalil-dalil teks lewat beragam pendekatan. Sehingga dengan demikian, lahirlah sebuah ahlusunnah wal jamaah sejati, tanpa adanya keraguan sedikitpun dan tanpa memandang kelompok lain salah apalagi sesat.

 

Oleh: Muhammad Khoiron

 

Artikel ini dimuat di arrahmah.co.id sebagai bagian dari Program Sindikasi Media Wahid Foundation.    

Bagikan Artikel: