Kembali

Maqoshid Syariah, Solusi Cabut Akar Terorisme

Ditulis : Admin

Jumat, 10 Juni 2016

Ledakan bom di Sarinah kemarin, menjadi bukti nyata bahwa gerakan radikal, ekstremisme dan terorisme masih menjadi ancaman bagi Indonesia dan kemanusiaan, sudah tidak jelas lagi siapa targetnya.

 

Senjata bisa mengalahkan teroris, namun pendidikan bisa menghilangkan terorisme. Pendidikan menjadi titik pijak deradikalisasi jangka panjang. Bonus demografi kaum muda menjadi berkah sekaligus tantangan. Semangat religius orang muda saat ini semakin tinggi, namun sangat disayangkan ketika ghirah (semangat) ini timbul, banyak kelompok ekstremis yang memanfaatkannya. Dasar agama terbatas dan keluguan mereka dimanfaatkan sebagai ujung tombak ektremisme, radikalisme, dan terorisme. Dampak paling nyata atas salahnya memilih guru dan institusi pendidikan.

 

Menyikapi fenomena seperti ini, diharapkan para generasi muda yang mulai semangat belajar agama, agar lebih selektif memilih halaqah pengajian, organisasi, majelis ta’lim, sebaiknya yang berafiliasi dengan organisasi keislaman yang terbukti mampu merawat umat, seperti NU dan Muhammadiyah. Diharapkan para orang tua aktif memantau putra-putrinya. Jika mereka mengikuti organisasi keagamaan yang aneh dan mencurigakan, segera berikan pemahaman dan pengarahan untuk menghindarinya.

 

Maqasid Syariah, Solusi atas Terorisme

 

Tahir Ibn Asyur, Ahmad Ar-Raisuni dan Jasser Auda termasuk pemikir yang serius mengembangkan maqasid syariah. Usaha para ulama ini bukan tanpa alasan. Mereka ingin membumikan syariah melalui pemahaman komprehensif filsafat hukum Islam. Maqasid adalah ilmu yang didasarkan pada pertanyaan “kenapa?”. Kenapa ada anjuran jihad? Kenapa wajib zakat bagi orang kaya? Dan seterusnya. Kaum muslim diajak tidak hanya taqlid (mengikuti) buta pada hukum Islam, namun  harus mengerti landasan teoritis pembentukan hukum Islam tersebut. Sebagian ulama memasukan maqasid syariah di bawah munasabatul qiyâs atau maslahah mursalah dalam ilmu usul fiqih.

 

Pembacaan kembali atas maqasid syariah urgen saat ini karena semakin memahami syariah, harus mengerti pula mana yang prioritas dan non-priorias dalam agama, baik dan buruk, benar dan salah, karena syariah bersumber dari Tuhan untuk kemaslahatan umat manusia, mengandung hikmah, kasih sayang, cinta dan keadilan. Apabila keluar dari kasih sayang, keadilan, hikmah dan cinta, maka dapat dipastikan bukan bagian dari syariah.

 

Maqasid yang semula dimaknai sebagai penjagaan terhadap agama (hifdhud-din), jiwa, akal, harta dan keturunan, dalam adl-dlaruriyatul-khamsah (lima prinsip keniscayaan) dinarasikan ulang sebagai tujuan syariah mengembangkan dan memuliakan hak asasi manusia (HAM). Dengan memuliakan HAM maka segala bentuk kriminal yang membahayakan hak asasi dilarang oleh syariah.

 

Perlu merenungkan kembali standar syariah yang dirumuskan oleh Ibn Qoyyim Al-Jauziah: bahwa Syariah didasarkan pada kebijaksanaan demi meraih keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Syariah seluruhnya terkait dengan keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan dan kebaikan. Jadi, hukum apapun yang mengganti keadilan, kasih sayang, kemaslahatan, dan kebijaksanaan, maka hukum tersebut dapat dipastikan bukan bagian dari Syariah.

 

Koreksi terhadap pemahaman primordial ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan, karena permasalahan fundamental dalam problem terorisme adalah distorsi terhadap interpretasi teks suci. Meskipun, para fundamentalis pun mengklaim sedang menegakkan syariah menurut interpretasinya, membunuh orang lian yang dianggap kafir, dengan ribuan argumentasi atau ratusan buku untuk pembenarannya. Jika keluar dari prinsip standar syariah di atas, dapat dipastikan bukan bagian dari syariah.

 

Kelompok muda memungkinkan menerima ide kebaruan dari maqasid syariah, menciptakan paradigma inklusif, tanpa menghilangkan khazanah lama, memberikan pemahaman yang benar tentang Islam. Merawat anak muda urgen saat ini karena mayoritas gerakan intoleransi, radikalisme, dan terorisme dimotori oleh generasi muda. Jika lalai merangkul dan mendidik pemuda, mereka bisa hilang arah, masuk ke dalam gerakan Islam yang cenderung memilih jalan radikal dalam menyebarkan ideologi dan paham keagamaannya.

 

Di tengah budaya kekerasan atas nama agama yang terus meningkat secara sporadis. Hal ini memalukan dan mengkhawatirkan, memalukan karena agama tidak pernah mengajarkan kekerasan, dan mengkhawatirkan karena paksaan dalam agama berarti sudah kehilangan akal sehat. Mata menjadi tidak lagi berguna ketika pikiran sudah buta.

 

Maqasid dalam Konteks Kekinian

 

Indonesia saatnya mengambil peran sentral dalam mengalahkan terorisme dunia, menjadi contoh negara lain dalam menangani ancaman teror. Tragedi Sarinah kemarin jelas membuktikan bahwa kita sebagai bangsa yang besar tidak bisa di teror oleh kelompok kecil teroris. Hal itu terbukti hanya tiga jam pasca-ledakan bom, warga mampu keluar dari ancaman teror, kelompok terorisme seperti apapun tidak akan mampu mengalahkan dan menciptakan teror bagi kita sebagai bangsa yang besar jika bersatu dan tetap waspada.

 

Indonesia adalah bangsa besar, rumah bagi umat muslim terbesar di dunia, memiliki potensi dan piranti menjadi pusat peradaban Islam dunia, wacana Islam Nusantara bisa dijadikan sebagai entry point upaya menjadikan Indonesia sebagai poros kebudayaan Islam dunia. Mari melestarikan khazanah masa lalu dan mengakomodir khazanah masa kini yang efektif. Maqasid Syariah sebagai khazanah klasik bernuansa kekinian, layak dijadikan diskursus baru bagi para guru, ustad, kiai, ulama dan orang awam, agar membawa perubahan terhadap masyarakat, memahami syariah secara kaffah, sehingga terbebas dari intoleransi, radikalisme dan terorisme.

 

Masyarakat diajak memahami tujuan Tuhan, memberikan syariah kepada umat manusia, sebagai jalan hidup untuk kemaslahatan manusia. Daya kritis terhadap syariah harus dibangun, dan akhirnya ketika kelompok fundamentalis mengklaim sedang menegakkan syariah, kita dengan mudah menjawab, syariah yang mana? Syariahnya siapa? Karena Tuhan tidak pernah menghendaki kehancuran umat manusia, melainkan untuk menjaga hak hidup, beragama, dan kebaikan hambanya.

 

Yang tidak kalah penting budaya Islam Nusantara seperti mengaji kitab di surau, majelis ta’lim, Yasinan, Tahlilan yang terbukti telah merawat umat perlu dilestarikan. Kelompok teroris tidak suka dengan ini. Dengan melakukan tradisi Islam Nusantara, juga sebuah langkah nyata melawan terorisme.

 

Oleh: A Fathurrohman Rustandi, peneliti Maqasid Syariah, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng

 

Artikel ini dimuat di NU Online sebagai bagian dari Program Sindikasi Media Wahid Foundation.

Bagikan Artikel: